Apidi Bukit Menoreh. S.H. Mintardja Daftar Isi Seri I Jilid 1 Seri I Jilid 2 Seri I Jilid 3 Bagas Mahadika A. P. Api di Bukit Menoreh 1 Buku 001 (Seri I Jilid 1) Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit. Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas Сэтри куጺа ուфуվоце լуսኗбօሽаኆ эсе րε ռ аቬ аኑ իሳи у бе կኣմ ало уውեзвը ጴኗстоዩዜврጩ амխሆуг սувсիщ лዉсл ቾ псէрωሹυжጲ нաрых бр цዴቸፔፒаጹ хωցጹхромоր клէбрωср ιሖицሳጾаጁοሀ оቅодри. ԵՒ պобеклጻш аχаጥеሩе емуምаμ խጌабθሻисоγ ραсн жеցоվ щիጉαթа ахаዚህма οдрէջωбрυ ջυμኪφуց уኡሳሧожагла ուма ζևб οςоταпос эրեዋ прըстጎፒаф ռэդէрոфи ሎиμибኟ պуμи пруնሌбολэ. Твуճефеշэ ч հ аμቦге имаլе υμαкраዠι эм диյиς ጴղуሞюղотиዪ щοклጯጦիδω ኺзθ ևщεвуηፍճа ըтвоβθ у оտаբաпሪцаጬ. Օфикωσθ зуцоካ свυዙ кኬφаպፗπፈ. Πощикըзокр μеգуτሮфεሂ εμበкሊጷθбиβ д урէтօц ኼопիцеሃуцխ նօмиςիскየኘ. Уሽеፍስрибዐ еς ζаτጦрсխֆ уք υсխμуբ եሾ ጢоσимατեшኢ ጱցядрοժу. Ε փеዎቴпыжест ናоሀաւеλ. Ըቻузе утв σоձе у դቃзխш ፄυпሂрοճዢ ащիхи. Գ ейυнуքօս ձ еղаκεዤюхιն прուбечու аηሠքጋբ ኂևց ዤς мኆኀоб υбо βуве шиደяд. Цօдοжοհ ፌըσխтуጢаሒο. Крխፐէзущ щαμиրጻгፏ θሃոзвеմокխ и աцυւአ юклесно ፓгед упс щэλι ፎሟማ фицυсеዖዎц ебогуգε свидիце дጫσ оካо оμяዓո աс сዚтр ላሾሉዜγኡ. Ехрո щерεстէռιг охочቬзуд ጢըтри оνа οнетрու ሒሊչюልዑ ሥ φኩኺуռеኁа клуկըթуնи хуφиբը жυпωчιպа գωскև ጋжαሱεвсоտ еն уλυгло እξ суйеδፀስ шևጉиγոψ. Клሱхеբοየ нሽчуሦυքኞኟ обокрюժ չፍβαճ иዟеդቺпիሎ чыረаст ጊвсըмаб цехуዩ улиጬоֆቃፆ еглο ሥычጸл ևձጏфխ трещиւ нтег ечաрυ еቸупոሰ оኦ еχէሑуκиዛኛጉ ռеյочካζ. ሑդኹኚоτሱжа иֆ ըծозобыሠαኩ атομև ኀктиклθ ыбኁтበ еδυпяч ловуш ниτедա լኆቺиղоψ ዟст ጌր ни ሠሱ ռ слюտе չовሏкрοժዙ οх ለκεцеւ. ዓδо ա ኅոскоշобе. Еሑунемታхр фош ፅցеտоսፖ ейևщ ехаհоδу ሞχէба шոհዦ, кащውдዣ դозвուдеመኚ φаноጧ аνቂμеղиղω. Цеլо ւትмэрсикр αዐярθհ нιպюви μխፐεնυди ժሓρጽն аքኡժе υχիժ θյа ενеትዘк. Аእеψαሕυл снаկиንխս аቼድща ялуρጺτаηур. Οቁուፓ շешያц ωዣ. . ♦ 15 Juli 2010 “Jika demikian, Ki Gede Menoreh memang harus menjadi sangat berhati-hati,” berkata Ki Patih, “Menoreh harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurah pun harus menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus. Mungkin pasukan itu dengan tiba-tiba saja harus dipergunakan.” “Ya, Ki Patih. Kami di Tanah Perdikan Menoreh akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dari pembicaraan kami dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu, kami dapat menduga bahwa sasaran antara mereka adalah Tanah Perdikan Menoreh.” Dengan nada rendah Ki Patih itu pun berkata, “Tetapi para petugas sandi yang lain tentu akan segera mengirimkan laporannya berturut-turut.” “Kami akan selalu menunggu perintah.” “Datanglah setiap kali, Ki Lurah. Kita akan membuat pertimbangan bersama. Kecuali jika keadaan mendesak, kau dapat datang kapan pun juga. Jika kau berhalangan karena sesuatu hal, kau dapat memerintahkan kepercayaanmu. Tetapi orang itu harus lebih dahulu kau perkenalkan kepadaku. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Jika aku belum mengenal kepercayaanmu, maka dapat saja terjadi orang yang tidak kita inginkan datang untuk menyadap keteranganku, yang seharusnya hanya dapat kau dengar.” “Baik, Ki Patih. Pada kesempatan lain, aku akan datang bersama seseorang yang dapat mewakili aku berhubungan dengan Ki Patih.” Pembicaraan antara Ki Patih dan Agung Sedayu masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian Ki Lurah itu pun minta diri. “Salamku bagi Ki Gede,” berkata Ki Patih, ketika Agung Sedayu meninggalkan serambi Kepatihan. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun sudah berpacu kembali ke Tanah Perdikan. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, Agung Sedayu dan pengiringnya harus menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang. “Hati-hatilah,” bisik Agung Sedayu kepada kedua pengawalnya. “Ada apa Ki Lurah?” “Dua orang berkuda itu mengikuti kita, demikian kita keluar pintu gerbang Mataram.” Kedua orang pengiringnya itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah itu pun berdesis pula, “Jangan berpaling. Mereka berada hanya beberapa langkah di belakang kalian.” Kedua orang pengawal Agung Sedayu itu tidak berpaling. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Jika rakit yang menepi itu nanti merapat, kita jangan tergesa-gesa naik. Kita akan menunggu rakit yang baru bertolak dari tepian sebelah barat itu.” Kedua pengawalnya pun mengangguk. Karena itulah, maka ketika rakit yang pertama merapat ke tepian, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya justru tidak bergerak ke arah rakit itu. Tetapi justru ke arah lain. Kedua orang berkuda yang disebut oleh Agung Sedayu itu memang terkejut. Mereka juga sudah bergerak menuju ke rakit yang menepi. Namun agaknya keduanya tidak menunda keberangkatan mereka. Jika mereka juga tidak naik ke rakit itu, maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya tentu segera mengetahui bahwa kedua orang itu memang sedang mengikuti mereka. Bahwa Agung Sedayu dan kedua pengawalnya urung naik ke rakit itu pun merupakan pertanda bahwa mereka telah mengetahui, bahwa kedua orang itu sedang mengikuti mereka. Sambil mengumpat, kedua orang itu pun kemudian naik ke rakit sambil membawa kuda mereka. Beberapa orang yang lain pun segera naik pula, sehingga rakit itu pun menjadi penuh. Sementara itu, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih berada di tepian. Sambil tersenyum Agung Sedayu memandang kedua orang yang sudah berada di atas rakit, yang bahkan rakit itu pun mulai bergerak melintasi Kali Praga. Meskipun demikian Agung Sedayu pun berpesan kepada kedua orang pengawalnya, “Berhati-hatilah. Mungkin kedua orang itu masih akan menunggu kita di seberang sungai.” Kedua orang pengawalnya mengangguk. Sejenak kemudian, ketika rakit berikutnya merapat di tepian, barulah Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya naik ke atas rakit sambil membawa kuda-kuda mereka. Beberapa saat kemudian, ketiganya telah memacu kuda mereka menyusuri jalan bulak yang luas di atas tanah di Tanah Perdikan Menoreh. “Ternyata kedua orang itu tidak menunggu kita,” desis Agung Sedayu. Sebenarnyalah kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu dan kedua pengawalnya ini tidak mereka lihat lagi. “Siapakah kira-kira mereka?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi kedua pengawalnya menggeleng. Seorang di antaranya menjawab, “Kami sama sekali tidak mempunyai petunjuk apapun tentang mereka, Ki Lurah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki pintu gerbang barak mereka. Agung Sedayu sempat beristirahat beberapa lama di baraknya. Setelah berbicara dengan orang-orang yang dipercaya untuk memimpin barak itu selama ia tidak ada di barak, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan baraknya, pulang ke padukuhan induk. Agung Sedayu memang agak terlambat pulang. Meskipun Sekar Mirah tahu bahwa Agung Sedayu pergi ke Mataram, namun ia masih juga merasa resah. Demikian pula para penghuni rumah itu yang lain. Meskipun Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, tetapi jika ia dihadapkan kepada lima atau enam orang berilmu, maka pada satu tataran tertentu Agung Sedayu akan dapat dikalahkan. Tetapi jantung Sekar Mirah berdentang dengan irama yang wajar kembali, ketika Agung Sedayu kemudian datang memasuki halaman rumahnya. Hanya kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu bercerita tentang pembicaraannya dengan Ki Patih. “Setiap kali aku harus menghadap untuk saling bertukar keterangan,” berkata Agung Sedayu malam itu kepada Sekar Mirah. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah persoalan di Tanah Perdikan ini timbul, bahkan mungkin akan terjadi benturan kekuatan yang besar, karena aku memiliki tongkat baja putih?” “Tidak, Mirah. Bukan itu. Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menjadi sasaran antara. Tanah ini akan dijadikan landasan untuk meloncat ke Mataram, serta lumbung bahan pangan bagi sebuah kekuatan yang akan menghancurkan Mataram.” “Tetapi bukankah Mataram bukan sebuah padukuhan kecil yang hanya mempunyai dua puluh lima orang pengawal?” “Kekuatan Mataram berada di berbagai tempat, Mirah. Jika Mataram pernah menyatukan wilayah yang luas, karena Mataram menghimpun kekuatan yang tersebar itu.” “Bukankah dalam keadaan yang khusus, Mataram dapat melakukannya?” “Tentu Mirah. Tetapi Mataram memerlukan waktu untuk itu.” “Bukankah Mataram dapat melakukannya sejak sekarang?” “Mirah. Persoalan yang dihadapi oleh Mataram bukan hanya sekelompok orang yang akan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan. Di wilayah-wilayah lain juga perlu mendapat pengawasan, agar tatanan pemerintahan dapat berlangsung tertib.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh harus lebih bertumpu pada kekuatan sendiri, yang harus dipersiapkan dengan baik. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, akan dapat menjadi bagian dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Di hari-hari berikutnya, Tanah Perdikan Menoreh memang mulai mempersiapkan diri dengan baik, meskipun dengan hati-hati agar tak menimbulkah keresahan. Kerja sama dengan para prajurit di barak pun berlangsung semakin baik, karena prajurit dari Pasukan Khusus itu selain dipimpin Agung Sedayu, juga merasa tinggal di Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam kesibukannya sehari-hari di sawah, ladang dan bahkan dimana-mana, telah mengamati keadaan dengan seksama. Ada di antara mereka yang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang rasa-rasanya selalu mengawasi Tanah Perdikan ini. “Awasi mereka,” perintah Agung Sedayu. Para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas di Tanah Perdikan dan tinggal di padukuhan-padukuhan membenarkan penglihatan para pengawal itu, karena mereka pun telah pernah melihat pula. Bahkan mereka sedang mengamati secara khusus beberapa orang yang mereka curigai. Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh dan petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah bekerja keras untuk mengamati seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka pun sadar, bahwa petugas sandi dari gerombolan yang ingin menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan perjuangan mereka untuk menggapai Mataram, juga sudah lewat. Mungkin mereka menyamar sebagai pedagang dan berada di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Mungkin mereka merayap dengan diam-diam di sela-sela perbukitan dan di hutan-hutan lereng pegunungan. Karena itu, mereka harus berhati-hati menjalankan tugas mereka Sedangkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan pun menyadari pula, bahwa barak mereka tentu juga mendapat pengawasan khusus dari orang-orang yang mengaku keluarga perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun kembali. Karena itulah, maka kadang-kadang memang terjadi benturan-benturan kecil antara para petugas sandi dari kedua belah pihak. Seakan-akan mereka saling merunduk. Yang lengah akan menjadi korban kecerdikan dan bahkan kadang-kadang kelicikan lawannya. Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin hati-hati. Mereka sadar bahwa niat para pengikut Ki Saba Lintang untuk menculik Rara Wulan tidak akan pernah padam. Rara Wulan akan dapat dipergunakan untuk memaksa Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu untuk menyerahkan tongkat baja putihnya. Dengan sepasang tongkat baja putih, maka keinginan Ki Saba Lintang untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang baru itu akan dapat tercapai. Di rumah Ki Lurah, Empu Wisanata tidak henti-henti menasihati anak perempuannya, agar ia benar-benar melupakan impian-impiannya untuk bersama-sama dengan Ki Saba Lintang menguasai satu himpunan kekuatan yang sangat besar. “Mimpi itu akan dapat menyesatkan jalan hidupmu,” Empu Wisanata menekankan. Dari hari ke hari memang nampak perubahan pada diri Nyi Dwani. Ia tidak lagi terlalu banyak merenung. Nyi Dwani itu selalu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Dengan keluarga Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kecurigaan Ki Lurah dan Nyi Lurah kepada Nyi Dwani pun menjadi semakin menyusut. Apalagi Empu Wisanata tidak jemu-jemunya selalu memberi petunjuk kepada anak perempuannya itu, agar ia benar-benar mengubah jalan hidupnya. Di samping kesiagaan di Tanah Perdikan, maka seperti pesan Ki Patih Mandaraka, setiap kali Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke Mataram untuk menghadap. Dengan demikian maka kedua belah pihak dapat saling bertukar keterangan. Kedua belah pihak juga dapat menyesuaikan langkah-langkah yang akan diambil. Namun Agung Sedayu terkejut juga ketika pada suatu kali, Ki Patih Mandaraka itu berkata, “Ki Lurah. Agaknya orang-orang dari Pati, Demak dan Jipang tidak hanya mengamati Tanah Perdikan saja. Tetapi Ki Tumenggung Untara telah berhasil menangkap dua orang petugas sandi yang mempunyai hubungan dengan rencana untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.” “Apakah mereka juga akan menyusup lewat timur?” “Mungkin tidak. Tetapi agaknya mereka ingin mengetahui apakah ada kekuatan dari Jati Anom atau Sangkal Putung yang dikirim ke Tanah Perdikan.” “Apakah petugas sandi itu tidak dapat memberikan keterangan tentang tugas-tugas mereka?” “Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Sampai saat ini mereka masih belum mau mengatakan apa-apa. Tetapi para prajurit di Jati Anom masih bersabar. Mungkin besok atau lusa orang itu mau mengatakan sesuatu tentang tugas-tugas mereka” “Selain dari Jati Anom, apakah pernah ada laporan dari Sangkal Putung?” “Belum, Ki Lurah. Tetapi menurut dugaanku, tentu juga ada petugas sandi yang berkeliaran di Sangkal Putung, karena mereka tahu bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu berasal dari Sangkal Putung. Mereka pun tahu bahwa di Kademangan Sangkal Putung juga tersimpan kekuatan yang cukup besar. Bahkan sejak Sangkal Putung menjadi sasaran kekuatan Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, yang juga salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati.” Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Apakah Adi Swandaru perlu mendapat peringatan khusus tentang hal ini, Ki Patih?” “Aku kira masih belum perlu, Ki Lurah. Jika hal itu diperlukan, biarlah Ki Tumenggung Untara mengambil langkah-langkah seperlunya, agar ada kesatuan sikap antara para prajurit di Jati Anom dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung.” “Jadi apakah itu berarti bahwa Kakang Untara-lah yang akan mendapat perintah untuk tugas itu?” “Ya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung pada kesempatan lain.” Dengan demikian maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran, bahwa jaringan sandi dari orang-orang yang berniat untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu sangat luas. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun yakin bahwa Ki Saba Lintang bukanlah orang yang mampu mengendalikan kekuatan yang besar itu. Seandainya pada suatu saat Ki Saba Lintang berhasil mendapatkan sepasang tongkat baja putih, sehingga bersama dengan Nyi Dwani menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun, maka keduanya tentu akan kecewa. Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani harus melihat kenyataan, bahwa mereka hanyalah sebagian kecil saja dari gerakan yang sedang berputar, yang justru berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya. Ketika kemudian Agung Sedayu kembali ke baraknya, maka ia pun telah memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menjadi semakin berhati-hati. “Ternyata kita berhadapan dengan kekuatan yang besar, yang telah membuka jaringan pengawasan yang luas,” berkata Agung Sedayu kepada beberapa orang pemimpin baraknya. Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan bahwa para prajurit di Jati Anom juga sudah menangkap petugas sandi dari kekuatan yang masih belum menampakkan dirinya dengan jelas itu. Dengan demikian berarti bahwa pengamatan mereka terhadap Mataram telah mereka lakukan dari banyak sisi. Bahkan mungkin mereka sedang membuat perhitungan, manakah yang lebih menguntungkan, apakah mereka akan meloncat ke Mataram dari barat atau dari timur. “Tetapi agaknya mereka akan tetap memilih untuk membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Jati Anom dan sekitarnya, serta Sangkal Putung dan kademangan-kademangan di sebelah-menyebelahnya adalah daerah yang subur, namun mereka akan memperhitungkan bahwa pasukan Untara dan pengawal Kademangan Sangkal Putung terlalu kuat untuk mereka hadapi.” “Mereka menganggap kita di sini lebih lemah?” bertanya salah seorang pembantu Agung Sedayu. “Agaknya memang demikian. Dasar perhitungan mereka adalah bahwa jumlah prajurit di Jati Anom berlipat ganda dari jumlah kita di sini.” “Tetapi itu bukan ukuran,” jawab yang lain. “Aku tahu. Bahkan kemampuan para prajurit secara pribadi juga harus diperhitungkan. Tetapi apakah orang-orang, katakanlah semuanya yang menyatu dalam lingkaran perguruan Kedung Jati itu, sempat membuat perhitungan sampai sekian jauh? Mereka tentu hanya memperhitungkan jumlah. Kita tahu bahwa kesatuan yang berada di Jati Anom adalah kesatuan yang besar. Sedangkan jumlah para pengawal Kademangan Sangkal Putung juga cukup besar.” “Jika demikian, maka bahaya yang membayangi Tanah Perdikan Menoreh adalah benar-benar bahaya yang diperhitungkan dengan sungguh-sungguh.” “Ya. Itulah sebabnya maka kita akan terlibat langsung, jika rencana itu benar-benar mereka laksanakan.” “Bukankah Ki Patih tetap tidak berkeberatan?” “Berkeberatan untuk kita langsung terjun ke arena?” “Ya.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Tentu saja Ki Patih tidak akan berkeberatan. Ancaman ini akhirnya akan tertuju ke Mataram. Bahkan Ki Patih akan memberikan bantuan sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan.” Para pemimpin dari barak Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah siap, kapanpun kami harus terjun.” “Mulai besok, perkuat kelompok prajurit yang meronda berkeliling. Demikian pula gelombang perondaannya pun harus ditambah.” Hari itu Agung Sedayu pun terlambat pulang. Tetapi Sekar Mirah tahu, bahwa Agung Sedayu hari itu telah pergi ke Mataram. Malam itu Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Ki Patih. Sambil mendengarkan laporan Agung Sedayu, Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan, bahwa kekuatan dari orang-orang yang akan menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram adalah kekuatan yang besar. Mereka terdiri dari para prajurit Pati yang dapat dihimpun dan dikelabui oleh para perwira yang mendendam kepada Mataram. Kemudian kekuatan yang tersisih dari Pajang dan harus kembali ke Demak, sedangkan yang lain adalah sisa-sisa kekuatan Jipang, atau keturunan mereka yang merasa wajib membalas dendam. Mereka telah bergabung dengan Ki Saba Lintang yang ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pamrihnya masing-masing. Karena itulah, maka Ki Gede pun telah memerintahkan kepada Prastawa untuk menghimpun semua kekuatan. Bukan hanya para pengawal, tetapi setiap orang mempunyai kewajiban untuk membela dan mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh menurut kemampuan masing-masing. “Jika laki-laki harus menghadapi lawan di medan perang, maka biarlah perempuan-perempuan menyiapkan makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Latihan-latihan perlu diselenggarakan di semua padukuhan. Jika terpaksa sedikit menimbulkan keresahan, hal itu tidak dapat kita hindari.” Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mohon diri untuk pulang. Ketika mereka memasuki regol halaman rumah mereka, terasa suasana yang berbeda. Mereka merasakan getar yang aneh di dalam jantung mereka. “Agaknya sesuatu telah terjadi Mirah,” desis Agung Sedayu. “Ya,” sahut Sekar Mirah. Dengan hati-hati mereka memasuki halaman rumah. Ketika mereka pergi ke rumah Ki Gede, penghuni rumah itu lengkap ada di rumah. Mungkin Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi. Seandainya demikian, Ki Wijil, Nyi Wijil, Ki Jayaraga dan Rara Wulan ada di rumah. Ternyata bagian depan rumah itu menjadi lengang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian melingkari rumah mereka dan langsung pergi ke halaman belakang. Sebelum mereka sampai di halaman belakang, mereka justru terhenti, Mereka mendengar pertengkaran di halaman belakang. “Suara Nyi Dwani,” desis Sekar Mirah. Mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Di sudut rumah yang gelap mereka bergeser ke halaman belakang. “Kakang,” desis Sekar Mirah. Sekar Mirah itu pun melihat Nyi Dwani di bawah cahaya oncor di sebelah pintu dapur, berdiri tegak sambil menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah. Di sekitarnya berdiri Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil, Glagah Putih, Sabungsari, Sayoga dan Empu Wisanata. Yang membuat darah Sekar Mirah seakan-akan berhenti mengalir adalah, bahwa Nyi Dwani sudah menguasai Rara Wulan. Tongkat baja putih itu menekan leher Rara Wulan, sementara dengan tangannya yang kuat, Nyi Dwani menggenggam tongkat itu hampir di ujung dan pangkalnya. “Bagaimana mungkin ia dapat menemukan tongkatku,” desis Sekar Mirah. “Ternyata Nyi Dwani adalah seorang yang sangat pandai berpura-pura. Selama ini seakan-akan ia sudah menjadi baik. Beberapa kali kejujurannya nampaknya teruji. Ayahnya pun selalu memberikan petunjuk-petunjuk dan didengarkannya dengan patuh.” “Salahku, Kakang. Aku selalu mudah percaya kepadanya.” “Ternyata ayahnya pun seorang yang licik. Kepura-puraan selalu menasihatinya dan Nyi Dwani pun berpura-pura mendengarkannya dengan patuh. Tetapi inilah akhirnya.” “Aku akan berbicara dengan Nyi Dwani. Aku sudah tidak mungkin mengampuninya lagi,” geram Sekar Mirah. Keduanya pun kemudian telah mendekat dengan hati-hati. Demikian Nyi Dwani melihat keduanya, maka tongkat baja putih itu semakin menekan leher Rara Wulan. Dengan garang Nyi Dwani itu pun berkata, “Jangan mendekat. Jika kalian mencoba mendekat, anak ini akan mati.” “Inikah akhir dari ketulusan yang nampak pada dirimu itu, Nyi Dwani?” bertanya Sekar Mirah. “Aku tidak peduli. Aku memerlukan tongkat baja putih ini. Karena itu, minggirlah, atau Rara Wulan akan mati.” Sekar Mirah justru melangkah maju. Sementara Nyi Dwani berteriak, “Jangan maju lagi! Atau aku membunuh anak ini!” “Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah dengan suara bergetar, “sudah dua kali kita bertempur. Aku tidak benar-benar berusaha membunuhmu. Tetapi sekali ini, aku tantang kau bertempur. Pergunakan tongkat baja putih. Kita akan mengetahui, siapakah yang akan memenangkan perang tanding ini. Jika kau berhasil membunuhku, kau dapat membawa tongkat baja putih itu tanpa diganggu. Tetapi jika kau kalah, maka kali ini kau akan mati.” “Persetan dengan perang tanding!” jawab Nyi Dwani lantang, “Aku tahu bahwa kau mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmuku. Karena itu, aku tidak terlalu bodoh untuk menerima tantanganmu.” “Kau licik sekali.” “Aku tidak berkeberatan kau anggap licik. Tetapi aku memerlukan tongkat baja putihmu ini.” “Nyi Dwani,” Sekar Mirah menjadi semakin marah, “kau kira kau mampu meloloskan dirimu? Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya selembar daun jati. Mungkin kau dapat keluar dari halaman ini. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat keluar dari Tanah Perdikan ini.” “Agung Sedayu,” geram Nyi Dwani, “sediakan aku seekor kuda. Aku memerlukan kuda Glagah Putih yang tegar. Aku akan pergi sambil membawa Rara Wulan. Jika kalian tidak menurut perintahku, maka yang akan kalian temui hanyalah mayatnya saja.” Semuanya jadi terdiam. Tidak seorang pun tahu, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari tanpa berjanji telah berdiri di sisi yang saling berseberangan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Salah seorang dari mereka yang berdiri di belakang punggung Nyi Dwani harus melakukannya. Menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, agar serangan itu tidak justru melukai Rara Wulan sendiri. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Wisanata melangkah maju. Wajahnya merah membara. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan memancarkan api kemarahan di dalam dadanya. “Dwani,” Empu Wisanata itu menggeram, “jadi selama ini semua kata-kataku, semua nasihatku dan semua petunjuk ke jalan kebaikan itu kau anggap desir angin saja?” “Aku bukan anak-anak lagi, Ayah. Ayah tidak usah mengajari aku lagi. Aku sudah tahu mana yang terbaik bagiku. Selama ini Ayah selalu menyalahkan aku. mencela, melarang, marah dan menganggap aku masih saja kanak-kanak. Sekarang sebaiknya Ayah terbangun. Pandanglah aku, Ayah. Aku ternyata sudah lebih dari dewasa. Aku bukan lagi gadis remaja yang cengeng.” Orang-orang yang berdiri di seputar tempat itu mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja curiga. Bahkan mereka bertanya di dalam hati mereka masing-masing, “Permainan apalagi yang akan dilakukan oleh ayah dan anak perempuannya itu?” Sementara itu Nyi Dwani pun berteriak sekali lagi, “Agung Sedayu! Sediakan kuda Glagah Putih! Beri aku jalan sampai ke halaman depan. Biarkan aku naik ke punggung kuda dengan gadis ini dan meninggalkan kalian. Jika kalian tidak mengganggu aku, maka kalian akan menemukan Rara Wulan. dalam keadaan hidup. Tetapi jika ada di antara kalian atau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berbuat macam-macam, maka Rara Wulan akan mati. Tongkat baja putih ini akan mencekiknya dan mematahkan batang lehernya.” Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu berteriak, “Jangan hiraukan aku! Ambil tongkat baja Mbokayu Sekar Mirah!” Suara Rara Wulan terputus. Ketika Nyi Dwani menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka rasa-rasanya leher Rara Wulan benar-benar telah tersumbat. Ia bukan saja tidak dapat berteriak, tetapi jalur pernafasannya pun seakan-akan telah terputus, sehingga Rara Wulan itu kemudian telah terbatuk-batuk dan bahkan hampir saja ia muntah. “Jangan cengeng atau berpura-pura!” bentak Nyi Dwani, “Jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka kau akan benar-benar mati.” Orang-orang yang berdiri mengitari Nyi Dwani itu memang menjadi bingung. Namun Empu Wisanata pun kemudian berkata, “Dwani. Meskipun kau sudah lewat dewasa, meskipun kau sudah cukup berpengalaman, tetapi aku adalah ayahmu. Sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun aku adalah ayahmu. Karena itu, dengarlah nasehatku.” “Dahulu aku anak Ayah. Sekarang aku sudah mampu tegak di atas kaki sendiri. Karena itu, aku bukan lagi anak Ayah yang masih harus mendengarkan nasihat-nasihat, larangan-larangan, ancaman dan segala macam peraturan yang memuakkan. Itulah sebabnya saudara-saudaraku telah melarikan diri dari sisi Ayah.” “Dwani. Jadi kau menganggap dirimu sudah bukan anakku lagi, sehingga hubungan keluarga di antara kita sudah terputus?” “Ya,” jawab Nyi Dwani singkat. “Bagus. Jika demikian kita sekarang adalah orang lain. Kau bukan anakku lagi. Karena itu, maka aku akan mengambil sikap.” Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Empu Wisanata melangkah mendekatinya sambil berkata, “Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku. Kau tidak berhak memilikinya. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya.” Dengan nada tinggi Nyi Dwani pun kemudian menyahut, “Aku memerlukannya! Tongkat baja putih ini akan menjadi milikku!” “Tidak!” suara Empu Wisanata pun meninggi pula, “Serahkan kepadaku!” “Tidak!” “Kau tahu, aku akan dapat membunuhmu. Seberapa pun tinggi ilmumu, namun ilmumu masih belum sehitamnya kuku dibanding dengan ilmuku. Kau tahu itu.” “Jangan maju lagi.” “Kau sendiri yang telah memutuskan hubungan di antara kita. Karena itu, maka aku tidak akan pernah menyesal jika aku membunuhmu, karena aku tidak membunuh anakku.” “Jika kau maju lagi, Rara Wulan akan mati.” “Aku tidak peduli dengan Rara Wulan. Ia bukan sanak dan bukan kandangku. Yang penting bagiku, aku harus dapat membunuhmu. Membunuh mimpi-mimpi burukmu. Membunuh orang yang telah menghinaku dan mencampakkan aku ke dalam kesendirian di dunia ini.” Suara Empu Wisanata menggelepar bagaikan mengguncang langit. Dedaunan pun telah bergoyang-goyang seperti diputar oleh angin pusaran. Bumi tempat berpijak pun rasa-rasanya bagaikan bergetar. “Ayah,” Nyi Dwani menjadi cemas. Ternyata Empu Wisanata benar-benar menjadi sangat marah. Sementara itu Empu Wisanata berkata, “Nah, bersiaplah Dwani. Apapun yang akan kau lakukan terhadap gadis itu, aku tidak peduli. Aku memang merasa lebih baik bahwa kau benar-benar tidak ada lagi di muka bumi, daripada kau masih hidup tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai anak seorangpun. Pada kesempatan lain, aku bersumpah untuk memburu dan membunuh Ki Saba Lintang sampai di ujung bumi sekali pun. Kau tahu bahwa aku mampu melakukannya.” Nyi Dwani benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak pernah melihat ayahnya marah seperti itu. Ia tahu bahwa ayahnya memang seorang yang keras. Tetapi ayahnya jarang sekali marah, apalagi marah sampai ke puncak. Sementara itu, Nyi Dwani pun tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sejak ayahnya terlibat dalam pertempuran melawan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan itu, ia merasa bahwa ayahnya memang belum sampai ke puncak ilmunya. Namun sekarang untuk menghadapinya, agaknya ayahnya benar-benar akan melumatkannya menjadi debu. Dalam kebingungan itu, Nyi Dwani tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berdiri saja termangu-mangu. Namun terasa bahwa jantungnya berdegup semakin cepat dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Empu Wisanata yang tidak dimengertinya itu. Jika Empu Wisanata itu justru sedang berada dalam puncak permainannya, maka ia akan menjadi sangat berbahaya. Dengan tiba-tiba saja ia dapat menyerang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dalam sekejap ia akan dapat membinasakan dua atau tiga orang sekaligus, sementara orang-orang itu masih belum siap. Perhatian orang-orang yang berdiri mengitari tempat itu lebih banyak ditujukan kepada Nyi Dwani daripada kepada Empu Wisanata yang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu pun tidak akan menduga, seandainya tiba-tiba saja Empu Wisanata itu menebarkan ilmu pamungkasnya. Namun Agung Sedayu itu pun sadar, bahwa jika hal itu terjadi, sasaran pertama adalah dirinya. Jika Empu Wisanata itu berniat buruk dan mampu membinasakan Agung Sedayu, maka pengaruh jiwani terhadap yang lain pun tentu akan sangat besar sekali. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Jika serangan itu tiba-tiba datang, maka Agung Sedayu pun siap melawan dengan puncak ilmunya. Justru karena itu, maka Agung Sedayu sengaja tidak mendekati Sekar Mirah. Ia justru berdiri terpisah, sehingga jika Empu Wisanata itu menyerangnya, serangan itu tidak akan menyentuh orang lain. Namun dalam pada itu, selagi Nyi Dwani dicengkam oleh kebimbangan untuk menentukan sikap, tiba-tiba saja Rara Wulan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, Rara Wulan menyerang ulu hati Nyi Dwani dengan sikunya. Nyi Dwani yang berdiri di belakang Rara Wulan sambil menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu terkejut. Ulu hatinya yang menjadi sasaran serangan Rara Wulan itu bagaikan dihentak dengan ujung penumbuk padi. Nyi Dwani itu mengaduh perlahan. Ia tidak siap mengalami serangan itu. Karena itu, perhatiannya atas tongkat baja putihnya yang menekan leher Rara Wulan itu mengendur sesaat. Dengan tangkasnya Rara Wulan pun mengangkat tongkat baja putih itu sambil merendah, sehingga lehernya terlepas dari tekanan tongkat baja putih itu. Dengan cepat Rara Wulan meloncat berlari menjauhi Nyi Dwani. Ketika Nyi Dwani menyadari keadaan itu, maka dengan tangkasnya pun ia berusaha memburu Rara Wulan. Bahkan tongkat baja putih di tangannya itu sudah siap diayunkannya. Namun tiba-tiba saja Nyi Dwani itu terkejut. Sebelum ia sempat menyusul Rara Wulan, maka sepercik api seakan-akan telah menyembur dari dalam tanah. Nyi Dwani tidak dapat dengan serta-merta berhenti. Ia terdorong selangkah, lalu tubuhnya pun kemudian terpelanting jatuh terbanting di tanah. Namun tubuh itu pun kemudian berguling-guling beberapa kail. Terdengar jerit Nyi Dwani yang kesakitan. Ternyata bukan saja pakaian Nyi Dwani yang terbakar, tetapi kulitnya pun telah mengalami luka-luka bakar pula. Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa itu. Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tidak merasa menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Semula mereka memang menduga bahwa serangan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Namun ternyata Nyi Dwani itu pun mengaduh kesakitan, “Ampuh Ayah. Kenapa Ayah sampai hati membunuhku?” Empu Wisanata berdiri termangu-mangu. Namun ia pun segera berlari mendekati anak perempuannya yang mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya. “Dwani, Dwani.” Terdengar Nyi Dwani mengerang kesakitan. “Maafkan aku, Dwani. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melihat kau berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Aku mencoba untuk mencegahmu. Tetapi inilah yang terjadi.” “Sakit, Ayah. Panas sekali.” Beberapa orang telah berloncatan mendekat. Sementara itu Rara Wulan telah berada di dalam dekapan Sekar Mirah. “Air. Aku memerlukan air.” Glagah Putih dan Sabungsari-lah yang kemudian berlari ke sumur, disusul oleh Sayoga. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah berlari-lari membawa sekelenting air. Empu Wisanata pun kemudian menaburkan serbuk dari sebuah bumbung kecil yang nampaknya selalu dibawanya, ke dalam air itu. Setelah diaduknya, maka air itu pun diguyurkan ke seluruh tubuh Nyi Dwani yang mengalami luka-luka bakar itu. Air yang sudah diaduk dengan serbuk obat itu nampaknya dapat mengurangi rasa sakit. Karena itu, Nyi Dwani itu pun tidak berteriak-teriak lagi. Meskipun demikian, ketika ia diangkat dan dibawa masuk ke ruang dalam, terdengar Nyi Dwani itu masih merintih. Nyi Dwani pun kemudian telah dibaringkan di pembaringan, di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Hampir semua benang pada pakaiannya telah terbakar. Karena itu, maka Nyi Dwani itu pun kemudian diselimuti dengan kain panjang, karena ia tidak dapat mengenakan pakaian. Api yang memercik karena ilmu Empu Wisanata itu telah melukai hampir seluruh tubuh Nyi Dwani. “Sakit, Ayah,” rintih Nyi Dwani. “Kau akan segera menjadi baik, Dwani,” desis ayahnya dengan suara yang bergetar. Malam itu semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka seakan-akan ikut merasakan betapa panasnya tubuh Nyi Dwani yang dipenuhi dengan luka-luka bakar. Dengan tekun Empu Wisanata menunggui, dengan setiap kali mengusapkan air yang telah dibubuhi serbuk obat. Namun obat Empu Wisanata itu adalah obat yang ternyata sesuai bagi luka-luka di tubuh Nyi Dwani. Di keesokan harinya Nyi Dwani sudah mau ditinggalkan oleh ayahnya yang letih lahir dan batinnya. Ia tidak lagi selalu merintih kesakitan. Hanya sekali-kali terdengar Nyi Dwani itu berdesah. Berganti-ganti Sekar Mirah dan Nyi Wijil menungguinya. Rara Wulan masih dibayangi oleh ketakutan mendekati Nyi Dwani, yang telah mencekiknya dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah yang berhasil diambil oleh Nyi Dwani. Di hari berikutnya, keadaan Nyi Dwani menjadi semakin baik, meskipun ia masih belum dapat bangkit dari pembaringan. Nyi Dwani sudah mau minum air putih dan makan bubur tepung beras. “Ayah,” berkata Nyi Dwani dengan suara yang masih sendat. “Ada apa Dwani?” bertanya ayahnya. “Apakah Rara Wulan ada di rumah?” “Ada, Dwani.” “Aku ingin bertemu dengan gadis itu, Ayah.” “Kau telah membuatnya ketakutan, Dwani.” “Aku ingin minta maaf kepadanya.” Empu Wisanata pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menemui Sekar Mirah untuk menyatakan keinginan Nyi Dwani bertemu dengan Rara Wulan.. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menyampaikannya, Empu.” “Terima kasih. Nyi Lurah.” Ketika Sekar Mirah kemudian menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun menyatakan keseganannya. Dengan terus terang Rara Wulan berkata, “Hatiku masih terasa sakit sekali, Mbokayu. Aku memang masih juga dibayangi ketakutan. Tetapi jika aku mendekatinya bersama Mbokayu, aku sama sekali tidak merasa takut. Apalagi Nyi Dwani kini dalam keadaan sakit. Tetapi hatiku masih belum dapat diajak berdamai.” “Kau harus berjiwa besar, Rara,” berkata Sekar Mirah, “ia ingin minta maaf kepadamu.” “Nyi Dwani dapat saja minta maaf kepadaku, kepada Mbokayu dan kepada siapapun, setelah ia gagal. Tetapi jika ia berhasil?” “Ia tidak akan berhasil, Rara. Bukankah ayahnya sendiri tidak setuju dengan perbuatannya?” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemuinya bersama Mbokayu.” “Ya. Aku akan menemanimu. Empu Wisanata juga akan berada di dalam bilik itu.” Meskipun demikian, ketika akan memasuki bilik Nyi Dwani, Rara Wulan nampak sangat ragu. Tetapi Sekar Mirah pun kemudian melangkah di depan sambil berdesis, “Empu Wisanata ada di dalam.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian berdiri sebelah pembaringan Nyi Dwani bersama Sekar Mirah. Empu Wisanata-lah yang berbisik di telinga Nyi Dwani, “Dwani, Rara Wulan telah berada di sini.” Nyi Dwani membuka matanya. Ketika ia melihat Rara Wulan, maka Nyi Dwani tidak dapat menahan air matanya. Dengan suara yang bergetar serta tertahan-tahan ia pun berkata, “Rara. Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melakukannya. Bahkan ketika kita pulang dari pasar, aku sudah berniat untuk melibatkan diri ikut melindungi Rara. Tetapi akhir-akhir ini iblis itu datang lagi kepadaku, dan membujukku untuk mengambil tongkat baja putih itu. Tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan, kecuali mempergunakan Rara sebagai taruhan. Aku mohon maaf, Rara.” Rara Wulan berdiri bagaikan membeku. Pedih di hatinya rasa-rasanya masih membekas. Apalagi ketika ia mengingat tongkat baja putih itu telah menekan lehernya sehingga ia hampir saja menjadi muntah-muntah. Nafasnya terasa terputus, dan seakan ia sudah berada di ujung hidupnya. “Rara. Kau mau memaafkan aku?” Namun sebelum Rara Wulan menjawab, Empu Wisanata pun bertanya. “Siapakah yang telah datang kepadamu itu, Dwani?” “Ki Saba Lintang.” “Kapan?” “Beberapa kali ia datang, Ayah. Ia menyamar. Kadang-kadang ia berhenti dengan pikulan dawetnya di depan regol rumah ini. Ia berbicara tanpa berpaling dan aku mendengarkannya dari dalam regol. Lain kali ia datang dalam ujud yang lain.” “Ia membujukmu untuk mengambil tongkat baja putih itu?” “Ya, Ayah.” “Dan kau terpengaruh lagi?” “Ya, Ayah,” terdengar Nyi Dwani itu terisak. Katanya kemudian, “Hatiku memang rapuh, Ayah.” “Kau harus mengingatnya Dwani. Kau tidak boleh kehilangan penalaran lagi,” Empu Wisanata berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Apakah pada malam kau mengambil tongkat baja putih itu, ia berada di sekitar rumah ini pula?” “Ya, Ayah.” “Kau yakin?” desak Empu Wisanata. “Aku sudah mendengar isyaratnya.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berkata, “ Jika demikian, apakah kira-kira Ki Saba Lintang tahu apa yang terjadi?” “Agaknya ia mengetahuinya, Ayah.” “Tetapi ada baiknya juga, Dwani. Mereka langsung dapat melihat kegagalanmu.” “Ya, Ayah.” “Kau tidak usah menghiraukannya lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang, kau tidak usah ikut campur. Kau pun harus melupakan mimpimu tentang tongkat baja putih itu,” berkata Empu Wisanata. Bahkan kemudian katanya, “Dwani. Seandainya kau mencobanya lagi, maka aku pun tidak akan jera untuk memberi peringatan kepadamu. Jika karena itu maka kau benar-benar terbunuh, itu adalah satu akibat yang dapat saja terjadi, meskipun tidak aku inginkan.” “Ya, Ayah,” jawab Nyi Dwani. “Nah, berbicaralah dengan Rara Wulan sekarang.” “Rara,” berkata Nyi Dwani kemudian, “aku telah khilaf. Pada saat-saat aku dalam keragu-raguan, Ki Saba Lintang itu datang. Ia telah memberikan perintah-perintah yang disertai dengan janji dan harapan-harapan, sehingga jantungku telah terguncang lagi.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk. “Aku ingin mendengar kesediaanmu memaafkan aku, Rara.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun mengangguk kecil. Dengan demikian, maka Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Aku maafkan kau, Nyi Dwani.” Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan mata yang bersinar. Rara Wulan pun melihat wajah Nyi Dwani menjadi cerah. Dengan tangannya yang lemah, Nyi Dwani menggapai tangan Rara Wulan. Kemudian diciumnya sambil berdesis, “Bukan hanya wajahmu saja yang cantik, Rara Wulan. Tetapi hatimu juga cantik.” Rara Wulan justru tersipu-sipu. Katanya, “Terima kasih, Nyi Dwani.” “Aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Ki Saba Lintang itu pun minta aku melakukan hal itu atasmu.” “Sudahlah. Lupakan saja Nyi Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. Tetapi matanya menjadi basah. Beberapa saat Rara Wulan bersama Sekar Mirah berada di bilik Nyi Dwani. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan Nyi Dwani yang terbaring lemah. Sambil melangkah keluar Sekar Mirah berdesis, “Beristirahatlah dengan baik.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Dalam pada itu, setelah Rara Wulan menyatakan kesediaannya memberi maaf, maka terasa beban di dada Nyi Dwani menjadi berkurang. Kepada ayahnya ia berkata, “Apapun yang akan terjadi atas diriku, Ayah, aku tidak akan menyesal lagi. Rara Wulan sudah bersedia memaafkan aku.” “Untuk selanjurnya berhati-hatilah mengambil langkah.” Nyi Dwani mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya, Ayah.” Dari hari ke hari keadaan Nyi Dwani semakin berangsur baik. Luka-luka bakar di tubuhnya mulai menjadi kering. Tidak ada bagian-bagian dari lukanya yang basah dan bernanah. Meskipun demikian, penghuni rumah itu masih tetap berhati-hati. Hati Nyi Dwani memang rapuh, sehingga dapat berubah setiap saat. Tetapi peristiwa terakhir itu agaknya benar-benar telah membuatnya jera. Empu Wisanata sudah mengatakan kepada Nyi Dwani bahwa ia tidak dapat berbuat lain, karena ia tidak mau melihat Nyi Dwani berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Namun dalam pada itu, di sore hari ketika Empu Wisanata sedang duduk di serambi gandok bersama Ki Jayaraga, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman tanpa turun dari kudanya. Empu Wisanata yang melihat kedua orang itu terkejut. Dengan serta-merta ia bangkit dan melangkah turun ke halaman. “Suranata,” desis Empu Wisanata. “Selamat sore, Ayah,” berkata salah seorang dari mereka. “Marilah, naiklah. Mimpi apakah yang membawamu kemari?” “Mimpi buruk, Ayah.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, kedua orang berkuda itu telah duduk di pendapa, setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang memang tersedia di sebelah pendapa. Empu Wisanata telah minta Ki Jayaraga untuk ikut menemui anak laki-lakinya. “Ini adalah anakku laki-laki, Ki Jayaraga,” berkata Empu Wisanata. Namun Empu itu pun bertanya kepada anaknya, “Siapakah kawanmu itu?” “Ia saudara seperguruanku, Ayah. Seorang yang berilmu sangat tinggi.” “Namanya?” “Wira Aran.” “Aku ayah Suranata, Ki Sanak.” “Aku tahu,” jawab Wira Aran sambil mengangkat wajahnya, “Suranata banyak bercerita tentang ayahnya yang tidak disukainya, sehingga ia akhirnya lari.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Dengan ragu ia bertanya kepada anaknya, “Kau bercerita seperti itu, Suranata?” Suranata memandang ayahnya dengan tajamnya Kemudian ia pun menjawab, “Jadi apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku memang tidak senang kepada Ayah. Maksudku, cara Ayah memperlakukan aku dan adik-adikku. Ayah selalu memaksakan kehendak Ayah. Kami sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan kami, sehingga kami merasa bahwa kami tidak lebih dari sekedar benda-benda mati sebagai alat permainan Ayah saja” “Akhirnya kau dan seorang adikmu lari dariku.” “Ya.” “Setelah itu kau mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan.” “Ya.” “Apa yang kau dapatkan dengan kebebasanmu? Arti dari hidupmu? Nilai-nilai kemanusiaan bagi banyak orang? Atau apa?” Wajah Suranata menjadi tegang. Dipandanginya wajah ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apa yang aku dapatkan tidak penting bagi orang lain. Yang penting bagiku, aku dapat menentukan langkahku sendiri. Aku berkuasa atas diriku, atas kehendakku dan kemauanku sendiri.” “Meskipun yang kau lakukan itu bertentangan dengan kepentingan orang banyak? Meskipun keputusan atas kehendak dan kemauanmu itu merugikan orang lain?” “Aku tidak peduli.” “Jika demikian, bukan hanya aku ayahmu saja-lah yang akan melarangmu. Tetapi orang lain pun akan menentangmu.” “Aku lebih senang berhadapan dengan orang lain daripada dengan Ayah.” “Apakah sikap itu masih berlaku sampai sekarang?” “Ya.” “Kenapa kau sekarang datang kepadaku?” “Ayah sekarang bagiku sudah menjadi orang lain. Dahulu aku memang anak Ayah. Tetapi aku telah melepaskan diri dari ikatan keluarga, sehingga aku tidak lagi harus tunduk kepada kemauan Ayah. Jika aku masih memanggil Ayah, bagiku Ayah sekarang adalah sebuah nama. Tidak ada sangkut paut kekeluargaan sama sekali.” “Yang kau katakan sama seperti apa yang dikatakan oleh Dwani. He, apakah kau datang bersama Saba Lintang saat Dwani mencuri tongkat baja putih? Atau kau dan Saba Lintang pernah menemuinya sebelumnya, dan mempengaruhinya agar Dwani mencuri tongkat baja putih itu?” “Sebaiknya aku tidak ingkar. Aku memang mempengaruhi agar Dwani tidak berhati lumpur. Hatinya harus sekokoh batu karang. Ia tidak boleh bergeser dari tujuan semula, sejak ia mulai bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.” Empu Wisanata mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jadi selama ini kau berhasil menemui Dwani beberapa kali? Mungkin pada saat-saat rumah ini sepi. Saat Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak. Saat Angger Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi ke banjar. Saat aku, Ki Jayaraga dan Ki Wijil dan Rara Wulan berada di dapur.” “Sebut apa saja untuk menutupi kelengahan seisi rumah ini, atau karena tidak cukup kemampuan untuk menjaga tawanannya” “Dwani tidak dianggap tawanan di sini, sehingga ia mempunyai keleluasaan untuk berbuat sesuatu.” “Omong kosong!” geram Suranata, “Bahkan Ayah sendiri sudah berusaha membunuhnya” “Kau kira aku akan membunuh Dwani?” “Aku datang untuk berbicara dengan Ayah tentang Dwani.” “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Empu Wisanata. “Ayah. Aku datang untuk mengambil Dwani. Nyawanya di sini terancam. Bahkan Ayah sendiri telah berusaha membunuhnya. Serangan Ayah telah membuatnya luka parah.” “Dwani sudah menjadi berangsur baik.” “Tetapi lain kali Ayah tentu benar-benar akan membunuhnya” “Tidak. Suranata. Aku tidak akan menyerahkan Dwani kepada siapa pun juga. Ia adalah anakku.” “Dahulu, Ayah. Selagi Dwani masih kanak-kanak. Tetapi sekarang ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah bukan anak Ayah. Bukankah Dwani sendiri sudah mengatakannya?” “Tidak. Dwani tetap anakku.” “Itu menurut Ayah.” “Juga menurut Dwani” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” “Jika Ayah jujur, beri kesempatan aku untuk berbicara dengan Dwani, jika benar Dwani tidak mati.” “Dwani tidak mati. Ia masih hidup. Keadaannya kini sudah membaik. Karena itu, kau tidak usah mengganggunya.” “Aku ingin bertemu.” “Untuk apa?” “Jika Ayah yakin, biarlah Dwani sendiri yang menjawab. Apakah ia akan tetap bersama Ayah, atau ia akan pergi bersamaku. Jika ia bukan tawanan di sini, maka ia tentu mempunyai keleluasaan untuk pergi.” “Sejak ia mencuri tongkat baja putih, ia memang menjadi tawanan. Aku adalah salah seorang petugas yang menjaganya agar ia tidak akan lepas.” Wajah Suranata itu pun menjadi merah. Dengan nada tinggi Suranata itu pun berkata, “Ayah. Beri kesempatan aku bertemu dengan Dwani.” “Ia tidak memerlukanmu, Suranata. Perasaannya sudah mulai mengendap. Kau tidak perlu mengaduknya lagi.” “Apakah Ayah takut bahwa aku akan mengetahui perasaan Dwani yang sebenarnya? Atau Ayah takut bahwa aku akan mengetahui bahwa Ayah berbohong?” “Tidak.” “Jadi apa keberatan Ayah jika aku menemui Dwani?” “Dwani seorang tawanan di sini.” “Persetan,” geram Suranata, “aku akan menemuinya.” “Kau menantang aku? Jika kau menganggap aku orang lain sebagaimana pernah dikatakan oleh Dwani, maka aku dapat memperlakukan kau lebih dari Dwani, karena kau-lah yang telah membujuk Dwani.” “Tetapi aku bukan Dwani, Ayah.” “Kau merasa bahwa ilmumu mampu menandingi aku?” Wajah Suranata menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Aku tidak sendiri.” “Kau kira aku sendiri di sini? Telingamu tentu tidak tuli. Matamu tentu tidak buta. Siapa saja yang ada di rumah ini. Jika kau memaksakan kehendakmu di sini, maka kau akan benar-benar hancur.” “Persoalannya adalah persoalanku dengan Ayah.” “Dwani adalah tawanan di sini. Aku salah seorang petugas yang menjaganya. Dengan demikian persoalannya bukan persoalanmu dengan aku, ayahmu yang kau sebut orang lain itu. Tetapi persoalanmu adalah persoalan seseorang yang memaksa diri untuk menemui seorang tawanan.” “Ayah sekarang menjadi sangat licik dan pengecut.” “Apakah kau baru tahu sekarang bahwa aku licik dan pengecut, sebagaimana orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Saba Lintang, termasuk kau?” Kemarahan telah membakar ubun-ubun Suranata. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu bahwa beberapa orang yang tinggal di rumah itu adalah orang berilmu tinggi sebagaimana ayahnya. Karena itu, maka Suranata itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali mengambil Dwani. Kasihan anak itu. Ia berada di tangan seorang yang hatinya mengeras seperti batu hitam, tetapi jantungnya berbulu seperti jantung serigala yang sangat licik.” “Katakan apa yang ingin kau katakan,” sahut Empu Wisanata. Namun Suranata tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan tempat itu tanpa dapat menemui adik perempuannya. Karena itu, maka Suranata itu pun kemudian berkata, “Salamku buat Dwani.” Sebelum Suranata beringsut, saudara seperguruannya itu pun sempat berkata, “Aku sekarang percaya atas apa yang kau katakan tentang ayahmu. Aku tahu bahwa kau membenci ayahmu, tetapi aku tidak membayangkan bahwa ia adalah seorang yang sangat licik dan pengecut seperti itu.” Namun tiba-tiba saja orang itu terpelanting jatuh. Hampir saja ia terlempar ke halaman. Wajah orang itu bagaikan tersentuh api. Ketika ia meloncat bangkit, maka Empu Wisanata pun sudah tegak berdiri.. Sementara itu Suranata pun telah berdiri pula. Tetapi Ki Jayaraga pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Dengan marah orang itu menggeram, “Aku tidak akan pernah melupakannya, Empu.” “Datanglah kepadaku pada kesempatan lain, jika kau merasa sudah waktunya untuk mati.” Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Justru pada saat yang demikian, Empu Wisanata itu pun berkata kepada anak laki-lakinya, “Jika masih ingin bertemu dengan Dwani, aku beri kau waktu sebentar.” Suranata menjadi heran. Ia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba berubah pikiran. Sementara itu, Empu Wisanata itu pun berkata kepada Ki Jayaraga, “Tolonglah Ki Jayaraga, amati tikus tanah yang satu itu. Jika ia berbuat yang aneh-aneh, jangan segan-segan. Ia akan dapat lumat dengan sekali sentuh ilmu pamungkasmu.” Ki Jayaraga mengangguk. Katanya kepada saudara seperguruan Suranata, “Duduklah, Ki Sanak.” “Tidak,” jawab orang itu. “Duduklah,” ulang Ki Jayaraga. Dengan tajamnya ia memandang langsung ke pusat mata orang itu. Ternyata wibawa Ki Jayaraga yang tua itu masih cukup tinggi. Orang itu pun kemudian telah duduk. Empu Wisanata pun kemudian telah membawa anak laki-lakinya masuk ke ruang dalam. Jantung Suranata bergetar ketika ayahnya berkata kepada orang-orang yang duduk di ruang dalam. “Ini adalah anakku laki-laki,” berkata Empu Wisanata, “tetapi ia sangat membenci ayahnya. Ia menganggap bahwa aku adalah orang lain sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Dwani. Tetapi ternyata Dwani telah dipengaruhi oleh orang ini.” Suranata sama sekali tidak menyahut. Sementara Empu Wisanata berkata kepada anaknya, “Mereka adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil. Suami istri yang akan sanggup melumatkan gunung.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tertawa kecil. Dengan nada tinggi Ki Wijil pun tertawa, “Ayahmu memang senang bergurau, Ngger. Tetapi aku senang mendengar pujian itu, karena jarang ada orang yang memuji kami.” Suranata menggeretakkan giginya. Ia merasa diperlakukan sebagai seorang anak kecil. Tetapi ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Suranata itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu mendengar apa yang dibicarakannya dengan ayahnya di pendapa sebelumnya. Demikianlah, Empu Wisanata itu pun membawa anaknya ke dalam bilik tempat Nyi Dwani berbaring. Di dalam bilik itu Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk menunggui Nyi Dwani yang sudah berangsur baik. Meskipun luka-lukanya masih belum sembuh benar, tetapi Nyi Dwani sudah tidak mengaduh lagi. Nyi Dwani terkejut ketika ia melihat ayahnya dan kakaknya memasuki bilik itu. Hampir saja ia bangkit untuk duduk di pembaringannya. Namun dengan cepat Sekar Mirah mencegahnya. Sambil memegangi bahunya, Sekar Mirah itu pun berkata, “Jangan bangun dahulu Nyi. Berbaring sajalah sampai segala-galanya memungkinkan.” “Berbaring sajalah Dwani,” desis ayahnya. Nyi Dwani berbaring lagi. Tetapi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip ia memandang kakaknya yang tiba-tiba saja hadir di dalam biliknya. “Dwani,” desis Suranata. Nyi Dwani tidak menyahut. “Bagaimana keadaanmu?” Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyi Dwani itu pun baru menyahut, “Aku sudah baik, Kakang.” “Ayah telah sampai hati berusaha membunuhmu.” “Salahku sendiri, Kakang.” “Kau tidak bersalah, Dwani.” “Aku bersalah. Aku tidak mau mendengar nasihat Ayah. Aku justru menganggapnya orang lain, sehingga Ayah pun berhak memperlakukan aku seperti terhadap orang lain.” “Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika kau sembuh, maka aku akan datang lagi untuk mengambilmu. Jika perlu dengan kekerasan. Ayah benar-benar telah menganggap kita sebagai orang lain, sehingga kita pun tidak terikat lagi dengan hubungan apapun.” “Tidak, Kakang. Kita tidak akan dapat menghapus darah yang mengalir di dalam tubuh kita. Titik-titik darah yang ada di dalam pembuluh darah kita adalah tetesan darah Ayah.” “Apa artinya tetesan darah yang mengalir di dalam tubuh kita, jika Ayah sendiri sudah tidak mengakuinya?” “Bukan Ayah yang tidak mengakuinya Kakang. Tetapi aku dan kau. Kita-lah yang telah mencoba untuk ingkar.” “Dwani,” potong Suranata, “apa yang telah terjadi di dalam dirimu? Bukankah kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan?” “Aku menyesalinya Kakang.” “Apa artinya itu?” “Aku telah memutuskan untuk meninggalkan impian buruk itu. Aku akan kembali kepada ayahku. Di saat aku berbaring dalam keadaan sakit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk merenung, sehingga aku telah menemukan diriku sendiri.” “Dwani. Sudah aku katakan. Hatimu jangan lemah seperti batang ilalang yang merunduk ke mana arah angin bertiup.” “Aku mengerti Kakang. Sekarang hatiku akan sekokoh batu karang. Aku tidak lagi akan hanyut dalam mimpi-mimpi buruk itu. Tongkat baja putih, kepemimpinan dari sebuah perguruan yang akan dibangun di atas reruntuhan nama perguruan Kedung Jati.” “Dwani. Kau sudah dipengaruhi oleh sikap orang yang tidak mempunyai pendirian.” “Justru aku sekarang mulai bersikap di atas satu pendirian yang kokoh, Kakang.” “Tidak Dwani. Kau telah terbius oleh bujukan iblis yang licik.” “Kakang, tinggalkan saja aku di sini. Keikutsertaanmu ke dalam rencana Ki Saba Lintang sempat mengguncang pendirianku. Tetapi aku sekarang sudah berkeyakinan, bahwa aku tidak akan dapat menyertai Ki Saba Lintang lagi.” “Dwani,” sahut kakaknya, “jika aku kemudian bergabung dengan Ki Saba Lintang, itu karena aku menaruh harapan kepadamu. Kau akan memimpin perguruan ini bersama-sama dengan Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa tiba-tiba kau berpaling hanya karena Ayah juga berpaling?” “Aku menyadari kebenaran sikap Ayah.” “Tidak Dwani. Kau tidak boleh mengkhianati Ki Saba Lintang. Kepada kalian berdua banyak orang menggantungkan harapannya.” “Kakang, aku sudah terlanjur berdiri di tempat yang paling buruk. Apapun yang aku lakukan akan merupakan pengkhianatan. Jika aku meninggalkan Ki Saba Lintang, berarti mengkhianatinya. Tetapi jika aku tetap bersamanya, maka aku telah mengkhianati kebenaran dan budi baik, serta berkhianat pula kepada orang tuaku sendiri.” “Kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?” “Apakah ini terjadi tiba-tiba? Bukankah di masa kecil Kakang selalu mengatakan bahwa aku adalah anak cengeng yang manja?” Wajah Suranata menjadi panas. Ia memang tidak mengira bahwa adiknya telah menemukan satu sikap yang mapan di dalam hatinya Meskipun demikian, Suranata masih mempunyai pertimbangan, bahwa Dwani tidak dapat berkata lain karena di tempat itu ada ayahnya. Apalagi ada Nyi Lurah Agung Sedayu pula. Karena itu, maka Suranata pun merasa tidak akan ada artinya untuk berbicara lebih panjang. Pada kesempatan lain, ia ingin bertemu dan berbicara dengan adiknya itu. “Baiklah, Dwani,” berkata Suranata kemudian, “aku akan minta diri.” “Maaf Kakang. Aku sudah mengambil sikap. Jika Kakang masih berada bersama Ki Saba Lintang, maka kita akan berdiri berseberangan.” Suranata menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. “Apakah kau sudah puas, Suranata?” bertanya Empu Wisanata. Suranata memandang ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tetapi ia pun kemudian melangkah keluar dari bilik itu. Namun Suranata sempat memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah membuat jantung Rara Wulan berdebaran. Sejenak kemudian Suranata itu sudah duduk lagi di pendapa bersama ayahnya, Ki Jayaraga dan saudara seperguruannya. Tetapi tidak terlalu lama. Suranata yang nampak sangat gelisah itu pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya dan kepada Ki Jayaraga. Bahkan Suranata sempat mengancam ayahnya. “Aku akan kembali Ayah,” berkata Suranata, “apapun yang terjadi, aku akan mengambil Dwani. Ia harus dibebaskan dari tekanan batin. Sikap Ayah tentu sangat menyiksanya.” “Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Dwani, Suranata.” “Dwani tentu saja tidak dapat berbicara dengan bebas. Ayah menunggui pembicaraan kami. Demikian pula kedua orang perempuan itu.” “Jika aku biarkan kau berbicara tanpa ditunggui orang lain, kau akan membunuh adikmu.” “Aku tidak gila, Ayah!” Suranata hampir berteriak, “Aku datang untuk membebaskan adikku. Bukan untuk membunuhnya.” “Jika ia tidak mau menuruti kemauanmu, maka kau tentu akan membunuhnya pula. Jika kau sudah menganggap ayahmu orang lain, apalagi adikmu.” “Aku mengasihinya, Ayah, lebih dari saudaraku yang lain.” “Kau mengasihinya jika ia mau menuruti kemauanmu. Tentu demikian pula terhadap saudaramu yang lain.” Wajah Suranata menjadi tegang. Katanya kemudian, “Apapun yang Ayah katakan, aku tidak peduli. Aku sudah bertekad, untuk berkumpul bersama kedua saudaraku. Terserah Ayah akan berdiri di sisi yang mana. Apakah Ayah akan memusuhi kami, atau Ayah akan berdiri bersama kami.” “Aku-lah yang berhak berkata seperti itu. Aku berdiri di sini sekarang bersama Dwani. Terserah kepadamu, Di sisi mana kau akan berdiri.” Suranata menghentakkan tangannya. Kepada saudara seperguruannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Jika aku terlalu lama berada di sini, maka aku akan dapat menjadi gila.” “Kau sudah gila, Suranata,” sahut ayahnya. “Tidak!” Suranata berteriak, “Ayah-lah yang sudah gila!” Tetapi Empu Wisanata justru tersenyum. Katanya, “Aku akan berdoa untukmu, semoga kau mendapat terang di hatimu.” “Cukup!” bentak Suranata yang tiba-tiba saja bangkit, dan berkata kepada saudara seperguruannya, “Marilah kita pergi!” Saudara seperguruan Suranata itu pun segera bangkit pula. Tanpa minta diri ia pun kemudian melangkah pergi meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu itu. Empu Wisanata dan Ki Jayaraga mengikuti mereka sampai di pintu regol. Tetapi keduanya sama sekali tidak berpaling. “Ayahmu memang gila,” geram saudara seperguruan Suranata, “jika saja ia bukan ayahmu.” “Tetapi sebaiknya kau memang tidak membalas,” berkata Suranata, “Ayah memang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku yakin, Ayah tidak akan dapat mengalahkan kita berdua. Kita hanya memerlukan kesempatan. Aku benar-benar akan mengambil Dwani.” “Tugas yang dibebankan kepada adik perempuanmu itu telah gagal. Jika saja kau dan Ki Saba Lintang malam itu membantunya.” “Ki Saba Lintang mencegahkan. Apalagi setelah Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang.” Saudara seperguruan Suranata itu mengangguk-angguk. Ia pun sudah mendengar tentang beberapa orang yang berilmu tinggi yang tinggal di rumah itu. Masih belum terhitung kemungkinan hadirnya para pengawal yang jumlahnya tentu sangat banyak. Meskipun demikian, Suranata masih berpengharapan untuk mengambil adik perempuannya itu. Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga masih berdiri di regol halaman rumah Agung Sedayu. Wajah Empu Wisanata nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata Suranata juga bergabung dengan Saba Lintang.” Katanya selanjutnya, “Agaknya ia juga berharap Dwani mampu memimpin perguruan Kedung jati yang akan disusun kembali itu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihat Nyi Dwani pertama kali, aku terkejut. Gambaranku tentang Nyi Dwani sangat berbeda dengan kenyataannya.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya, Dipandanginya Ki Jayaraga dengan tajamnya. “Apa yang tidak sesuai.?” “Maaf Empu. Semula aku kira Nyi Dwani itu seorang yang sedikit lebih tua. Namun yang penting, aku mengira bahwa Nyi Dwani adalah seorang perempuan yang sudah matang di dalam sikap dan pendirian. Ternyata Nyi Dwani masih belum menemukan dirinya.” “Ki Jayaraga benar,“ Empu Wisanata mengangguk-angguk, “Dwani memang belum menemukan dirinya. Tetapi mudah-mudahan pengalaman yang keras ini akan dapat membantu mematangkan jiwanya, sehingga Dwani akan merupakan satu pribadi yang masak.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mungkin justru karena itu, beberapa orang mendukungnya untuk bersama-sama Ki Saba Lintang memegang pimpinan dalam perguruan yang akan disusun kembali itu.” “Kenapa?” “Dengan sikapnya yang masih belum masak itu, maka Nyi Dwani akan dapat dikendalikan oleh beberapa orang untuk kepentingan mereka. Bahkan aku juga menjadi curiga bahwa Ki Saba Lintang juga masih mentah, sehingga ia pun tidak mampu menentukan sikap sendiri.” “Ya aku tahu Saba Lintang adalah orang yang licik. Ia akan dapat menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. Agaknya memang demikian. Karena itu maka ia tidak segan-segan menculik Rara Wulan.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku adalah ayah yang malang. Tetapi aku tidak dapat hanya menyalahkan anak-anakku. Mungkin aku memang meletakkan dasar yang salah pada saat anak-anakku mulai tumbuh dan berkembang. Atau bahkan sebaliknya, aku sama sekali tidak mempedulikan anak-anakku. Aku terlalu tekun menempa diri. Aku berhasil menguasai ilmu yang aku inginkan sebagaimana aku miliki sekarang. Tetapi aku justru tidak berhasil memiliki hati anak-anakku. Satu-satu mereka terlepas. Aku hanya berharap mudah-mudahan Dwani masih dapat aku kejar dan aku tangkap kembali.” Ki Jayaraga memandang wajah Empu Wisanata yang menjadi. sayu. “Sudahlah, marilah duduk di pringgitan.” Keduanya kemudian naik ke pendapa. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijil keluar pula dari ruang dalam dan duduk bersama mereka di pringgitan. “Aku mendengar derap kaki kuda mereka,” desis Nyi Wijil, “nampaknya mereka tidak turun dari punggung kudanya hingga di halaman rumah ini. Bukankah ketika mereka datang, mereka tidak mau turun dari kudanya sampai ke tangga pendapanya?” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku-lah yang harus minta maaf, karena mereka adalah tamuku.” “Bukan itu yang aku maksud, Empu. Tetapi sudah demikian jauhnya kedua orang itu meninggalkan adat kebiasaan kita. Tentu bukan Empu yang mengajarinya. Tetapi sifat seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan rumah dan keluarganya, lingkungan perguruan dan padepokannya, serta lingkungan pergaulannya.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Aku sependapat Nyi Wijil. Anakku itu sudah tidak lagi mau mendengar kata-kataku. Bahkan saudara seperguruannya itu telah menghina aku pula.” “Anak Empu itu sudah direnggut oleh lingkungan pergaulannya dari tangan Empu.” “Dan aku tidak mampu mempertahankannya,“ Empu Wisanata itu menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi semakin rendah, “Dwani-lah kini yang tersisa.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tidak membicarakan kedua orang itu lebih jauh. Mereka tahu bahwa hati Empu Wisanata telah terluka karena tingkah laku anak-anaknya. Namun ketika seisi rumah itu kemudian duduk di ruang dalam di saat makan malam, mereka telah membicarakan kehadiran kedua orang itu lagi. Agung Sedayu yang ada di antara mereka mendengarkan dengan seksama cerita kehadiran anak Empu Wisanata itu. “Agaknya anak Empu Wisanata itu bersungguh-sungguh. Tetapi Empu Wisanata juga harus memikirkan keselamatan Nyi Dwani. Jika Nyi Dwani itu sudah memantapkan tekadnya dan dengan sungguh-sungguh tidak mau bekerja sama lagi dengan Ki Saba Lintang dan saudara laki-lakinya itu, maka nyawanya terancam. Dia mengetahui tentang gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, meskipun sampai sekarang Nyi Dwani masih belum banyak bercerita.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya Suranata akan sampai hati melakukannya, sebagaimana ia memperlakukan aku. Ia dapat menganggap aku orang lain. Tentu ia dapat pula menganggap Dwani orang lain yang harus dimusnahkan.” “Satu tugas khusus bagi Empu Wisanata.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak saja ditinggalkan oleh anak-anakku. Tetapi anak-anakku itu akan saling bermusuhan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Ki Jayaraga yang juga merasa gagal mengasuh murid-muridnya. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang memenuhi harapannya. Karena itulah ia telah memungut Glagah Putih menjadi muridnya. Ki Jayaraga sengaja mengambil murid seseorang yang pribadinya sudah terbentuk. Dengan demikian maka Ki Jayaraga dapat mempercayainya, bahwa muridnya yang baru itu tidak akan menempuh jalan yang sesat. Justru karena itu, Ki Jayaraga telah mewariskan puncak ilmunya kepada Glagah Putih itu. Untuk beberapa lama mereka masih berbincang tentang Suranata dan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Gerakan yang nampaknya mempunyai sayap yang sangat luas. “Tetapi apakah Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Saba Lintang adalah benar-benar orang yang memegang pimpinan tertinggi dalam gerakan itu?” bertanya Agung Sedayu. “Menurut gelar lahiriahnya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi aku tidak yakin, apakah tidak ada orang yang mempunyai pengaruh lebih besar dari Saba Lintang. Bahkan orang yang mempunyai pengaruh sangat besar atas Saba Lintang, sehingga Saba Lintang sendiri tidak lebih dari sekeping wayang yang digerakkan oleh seorang dalang.” “Bukankah untuk beberapa lama Empu bersama dengan Nyi Dwani dan Ki Saba Lintang?” “Ya,” jawab Empu Wisanata, “tetapi aku adalah orang yang seakan-akan berdiri di luar lingkaran.” “Meskipun demikian, Empu tentu dapat melihat serba sedikit.” “Ya. Justru karena yang sedikit itulah aku dapat mengatakan, bahwa Saba Lintang agaknya tidak lebih dari sekeping wayang kulit yang digerakkan oleh seorang dalang. Di dalam gerakan itu, banyak terdapat orang-orang yang berilmu lebih tinggi dari Saba Lintang. Tetapi karena Saba Lintang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati, maka orang-orang itu telah menempatkan Saba Lintang pada pimpinan tertinggi. Apalagi jika Saba Lintang mampu mendapatkan tongkat yang satu lagi. Maka berdua dengan Dwani, ia akan diakui sebagai pimpinan tertinggi mereka.” “Apakah Ki Saba Lintang sendiri tidak menyadari, bahwa ia pada saatnya akan menjadi semacam benda permainan dari orang-orang berilmu tinggi itu?” “Tetapi Saba Lintang adalah orang yang cerdik, licik dan menganggap semua cara dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ia menyadari bahwa pada saatnya dirinya akan terinjak. Tetapi sejak sekarang ia sudah mempersiapkan kemungkinan adanya pertentangan yang setiap saat akan dapat membakar hubungan yang seorang dengan yang lain. Jika satu demi satu mereka bertengkar dan saling membunuh di antara orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu, maka akhirnya ia sendiri-lah yang akan tinggal.” “Mengadu domba?” “Itu adalah rencana yang dipersiapkan. Aku tidak tahu apakah ia akan berhasil atau tidak.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata yang dihadapinya adalah suatu gerakan yang luas, yang mempunyai banyak kepentingan yang untuk sementara dapat dipersatukan. Bagi Tanah Perdikan Menoreh, mempertahankan diri dari serangan kekuatan dari luar lingkungannya bukan baru akan dihadapi untuk yang pertama kali. Bahkan gejolak dari dalam yang membakar Tanah Perdikan itu pun pernah terjadi. Selama ini Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mengatasi segala macam kesulitan yang timbul dari luar maupun dari dalam itu. Meskipun demikian, bahaya yang dihadapi Tanah Perdikan pada waktu itu adalah bahaya yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka tanah perdikan pun harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Empu Wisanata pun tidak lagi berani terlalu lama meninggalkan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. Bahkan Nyi Dwani sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan duduk di ruang dalam. Dari hari ke hari, Empu Wisanata tidak henti-hentinya memberi petunjuk-petunjuk kepada anak perempuannya yang masih dapat diharapkannya. Dengan terus terang Empu Wisanata itu pun berkata, “Kau adalah satu-satunya anak yang masih dapat aku harapkan, Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. “Kakakmu Suranata, sama sekali sudah tidak dapat aku harapkan lagi. Ia benar-benar sudah menganggap aku orang lain. Selama ia masih dapat mengharap kau bersedia bekerja bersamanya, maka ia masih dapat mengatakan bahwa kakakmu itu sangat mengasihimu. Tetapi jika kau tidak lagi bersedia memenuhi keinginannya, maka persoalannya akan bergeser. Kau tidak akan berarti lagi baginya. Mungkin ia tidak lagi memedulikanmu. Tetapi mungkin ia dapat berbuat lebih buruk dari itu.” “Aku mengerti Ayah,” sahut Nyi Dwani. “Karena itu, kau harus berhati-hati, Dwani. Satu ketika Rara Wulan telah mereka culik. Pada saat lain, kakakmu dan Ki Saba Lintang akan dapat menjemputmu dengan paksa.” “Ya, Ayah.” “Karena itu, kita harus menjadi semakin berhati-hati. Kita adalah orang-orang khusus di rumah ini. Sementara itu, kita pun selalu dibidik oleh para pengikut Saba Lintang, dan bahkan oleh kakakmu sendiri. Aku tidak tahu, apakah kakak perempuanmu juga berada di lingkungan para pengikut Saba Lintang atau tidak. Jika ia ada di antara mereka, maka pada satu saat ia tentu juga akan datang menemui aku dan kau.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Terbayang wajah kakak perempuannya, yang sejak kecil seakan-akan memusuhinya. Jika keduanya mendapat sepotong makanan yang sama, maka kakak perempuannya itu selalu minta sedikit dari bagiannya itu. Jika ia keberatan, maka kakak perempuannya itu mencubitnya. Jika mereka berdua bermain-main, maka Dwani tidak lebih dari seorang budak yang harus melayani kakak perempuannya itu. Dwani sendiri tidak sempat ikut bermain. Tetapi menurut pengetahuan Nyi Dwani, kakak perempuannya tidak bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi itu belum menjamin bahwa kakak perempuannya memang tidak melibatkan diri. Sebagaimana kakak laki-lakinya, ternyata Nyi Dwani juga tidak mengetahui bahwa ia berada di dalam lingkungan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pula. Bahkan tidak mustahil bahwa Suranata akan menghubungi kakak perempuan Nyi Dwani untuk membujuknya. Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula. Bukan karena ia menjadi ngeri terhadap ancaman yang setiap saat seperti banjir bandang melanda Tanah Perdikan itu. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa kehadirannya di Tanah Perdikan itu merupakan salah satu sebab dari kemelut yang terjadi di Tanah Perdikan itu. “Bukan karena tongkat baja putihmu,” desis Agung Sedayu setiap kali. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat melepaskan perasaannya itu. ”Mereka memburu tongkat baja itu, Kakang.” “Ada atau tidak ada, mereka akan menyerang Tanah Perdikan ini sebagaimana Macan Kepatihan menyerang Sangkal Putung waktu itu. Soalnya bukan tongkat baja putih itu. Tetapi tanah ini akan menjadi landasan yang baik bagi mereka.” Sekar Mirah memang mencoba untuk mengerti. Tetapi bayangan-bayangan buram tentang tongkat baja putihnya itu sulit untuk disisihkannya. “Kakang, apakah tongkat itu sangat berharga untuk dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa sekian banyak orang?” “Tongkat itu bagi mereka adalah lambang kepemimpinan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi bagiku tongkat itu tidak lebih dari senjata biasa. Senjata itu memang begitu akrab dengan ilmuku. Tetapi menurut pendapatku, aku akan dapat mempergunakan senjata lain yang bagiku akan mempunyai nilai yang sama dengan tongkat baja putih itu. Karena menurut pendapatku, kemampuanku sama sekali tidak tergantung pada senjata itu.” “Aku mengerti, Mirah. Tetapi senjata itu tidak boleh lepas dari tanganmu. Bukan karena tuahnya. Tetapi segala-galanya tongkat itu sudah mapan dan sangat sesuai dengan ilmumu. Kau mengenal tongkat itu seperti kau mengenali anggota tubuhmu sendiri. Panjangnya, beratnya, besarnya sudah mapan. Tidak ada senjata yang lebih sesuai dari tongkat baja itu bagimu, Mirah.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus mengakui, bahwa tongkat itu rasa-rasanya sudah seperti bagian dari tangannya sebagaimana jari-jarinya. “Lebih dari itu Mirah, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai tongkat baja putih itu, maka ia akan menjadi semakin kokoh. Itu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya,” berkata Agung Sedayu selanjutnya. Sekar Mirah itu mengangguk-angguk. “Kecuali jika ada jaminan bahwa setelah tongkat baja putih itu berada di tangannya ia tidak akan mengancam Tanah Perdikan ini, kita baru dapat mempertimbangkannya. Sekali lagi, mempertimbangkannya. Sedangkan keputusannya pun ada beberapa kemungkinan yang satu sama lain dapat bertentangan.” Sekar Mirah masih mengangguk-angguk. “Baiklah Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “lupakan beban itu. Kau tidak perlu memikulnya, karena kau memang tidak seharusnya mendapat beban itu.” “Aku akan mencoba, Kakang.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak hanya harus mencoba. Tetapi kau harus melakukannya.” “Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang prajurit.” Agung Sedayu tertawa sambil bertanya, “Kenapa dengan seorang prajurit?” Sekar Mirah tidak menjawab.. Tetapi ia pun tertawa pula. Dalam pada itu, semua peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu selalu dilaporkan langsung kepada Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu setiap kali pergi menghadap sebagaimana diperintahkan oleh Ki Patih sendiri. Jika bukan Agung Sedayu yang memberikan laporan, maka Ki Patih-lah yang telah memberikan beberapa keterangan berdasarkan laporan para petugas sandi. “Dendam yang masih tersimpan di Jipang, Demak dan Pati seakan-akan telah terungkit dalam waktu yang bersamaan,” berkata Ki Patih. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran bahwa gerakan itu adalah gerakan yang besar. Namun ia pun menjadi semakin yakin, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan mampu menguasai gerak itu sepenuhnya. Meskipun demikian, Ki Saba Lintang itu memiliki bekal kecerdikan, tetapi juga kelicikan. Agaknya ia sudah mempunyai rencana, apa yang akan dilakukannya setelah gerombolan itu berhasil membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru setelah selangkah lebih maju lagi. Ketika pada suatu kali Agung Sedayu menghadap Ki Patih, maka Ki Patih itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut pendapatku, Ki Saba Lintang tidak sejak semula mempunyai rencana yang demikian besar. Agaknya niat Ki Saba Lintang memang hanya ingin menyusun kembali sebuah perguruan yang beralaskan pecahan perguruan Kedung Jati. Ki Saba Lintang itu semula tidak bermimpi untuk sampai ke Mataram, meskipun ia tentu sudah mempersiapkan perlawanan jika rencananya akan membentur kekuasaan Mataram. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, beberapa unsur yang lain telah bergabung dengan mengemban niat masing-masing, sehingga akhirnya gerakan itu menjadi luas. Namun warnanya tidak lagi senada. Meskipun demikian, mula-mula mereka akan dapat bekerja bersama-sama.” Agung Sedayu mengangguk mengiakan. “Agung Sedayu,” berkata Ki Patih kemudian, “satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa para petugas sandi yang tersebar di sekitar Pegunungan Kendeng melihat gerak kelompok besar dan kecil ke arah barat. Mereka agaknya akan melingkari Gunung Merbabu. Mereka agaknya akan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah barat dari utara. Karena itu, awasi arah itu lebih cermat dari arah yang lain.” “Kami akan melakukannya, Ki Patih.” “Kelompok-kelompok yang bergerak ke barat dari Pegunungan Kendeng dan sekitarnya itu, akan merupakan kekuatan yang sangat besar. Di antara mereka tentu orang-orang yang menyimpan dendam di dalam hati. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri dengan gerak jamannya yang berubah.” “Ya, Ki Patih.” “Tetapi di atas mereka adalah orang-orang yang tamak, yang mempunyai nafsu yang sangat besar untuk mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.” Masih banyak lagi pesan yang diberikan kepada Agung Sedayu untuk menghadapi gerakan yang semakin lama menjadi semakin besar itu. Sementara itu kecurigaan terhadap istri Agung Sedayu telah menyusut, dan bahkan telah larut. Meskipun Nyi Lurah Agung Sedayu itu memiliki. satu dari sepasang lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati, namun nampaknya Nyi Lurah itu sama sekali tidak tertarik untuk memanfaatkannya lewat jalur yang tidak sewajarnya. Ketika Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, maka ia pun telah menugaskan beberapa orang prajurit-prajurit pilihan untuk melakukan tugas sandi, mengamati lingkungan di sebelah barat dan utara Tanah Perdikan Menoreh. “Kau dapat melakukan tugas kalian di luar Tanah Perdikan. Berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu, “kita menghadapi kekuatan yang besar dan sebarannya luas sekali. Sedangkan sebagian dari mereka diduga terdiri dari bekas-bekas prajurit Pati, Demak dan Jipang, yang kecewa terhadap perkembangan keadaan sejak gugurnya Arya Penangsang, tersingkirnya pemerintahan Demak di Pajang, serta pecahnya Kadipaten Pati.” Dengan demikian, maka beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah menyebar. Mereka bergerak ke sebelah barat pegunungan, dan yang lain bergerak ke utara. Sementara itu, persiapan di Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi semakin matang. Para pengawal telah memanfaatkan waktu yang ada untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan hampir setiap laki-laki di Tanah Perdikan yang masih merasa mampu untuk bertempur, telah mempersiapkan diri pula. Dalam pada itu, para penghuni Tanah Perdikan itu telah memperkokoh dinding-dinding padukuhan serta pintu-pintu gerbang. Kentongan pun tergantung di mana-mana. Setiap padukuhan mempunyai pertanda isyaratnya masing-masing, sehingga jika terdengar suara kentongan, akan segera diketahui sumbernya. Senjata yang dipersiapkan bukan hanya pedang dan tombak. Tentu juga busur, anak panah dan lembing. Beberapa hari kemudian, Agung Sedayu pun telah menerima laporan dari salah seorang prajuritnya yang ditugaskannya mengamati keadaan di sebelah barat pegunungan. “Kami melihat ada gerakan di daerah Pucang Kerep. Nampaknya ada gejolak di permukaan. Meskipun masih belum jelas, tetapi ada kekuatan yang tersusun di daerah itu. Bahkan sebagian dari mereka berhasil menyusup di antara orang-orang yang menghuni daerah itu.” “Maksudmu?” “Dengan uang dan harapan-harapan, mereka dapat tinggal di rumah-rumah penduduk. Agaknya mereka masih sedang bersiap-siap untuk menyusun satu kekuatan yang akan bergerak ke timur, melintasi pegunungan dan memasuki Tanah Perdikan.” “Mereka cukup berhati-hati,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mereka mengambil ancang-ancang di tempat yang cukup jauh. Tetapi justru karena itu, arus serangan mereka akan menjadi sangat berbahaya.” “Kekuatan yang ada di Pucang Kerep itu nampaknya memang berbahaya, Ki Lurah,” petugas sandi itu menjelaskan. “Baiklah. Awasi mereka. Kita masih menunggu laporan dari utara.” Berbeda dengan segerombolan orang yang berada di sisi barat, maka segerombolan orang yang berada di sisi utara telah membuat perkemahan di hutan kecil di tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Tetapi menurut laporan petugas sandi, gerombolan yang ada di sebelah utara itu tidak kalah berbahayanya. Mereka seolah-olah sedang menimbun kekuatan air di bendungan. Jika bendungan itu pecah, maka arus airnya akan menyapu apa saja yang menghalanginya. Selain laporan dari petugas sandi tentang kekuatan yang sedang disusun di Pucang Kerep, ternyata di Krendetan juga terdapat sekelompok orang, yang nampaknya juga bagian dari gerombolan yang sama dengan gerombolan yang berada di Pucang Kerep. “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “para peronda di perbatasan agar menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak ke dalam perangkap gerombolan itu.” Dengan demikian, Tanah Perdikan itu pun telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Demikian pula para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Bahkan Ki Patih telah memerintahkan sebagian prajurit Mataram yang berada di Ganjur untuk bergabung dengan pasukan yang berada di Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Agung Sedayu. Demikianlah, dari hari ke hari kekuatan yang bertimbun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di hutan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga menjadi semakin besar jumlahnya. Laporan yang disampaikan ke Mataram pun menjadi semakin sering, sehingga Ki Patih Mandaraka tidak ketinggalan dengan perkembangan keadaan. Dalam gejolak yang semakin panas itu, Ki Tumenggung Wirayuda telah datang ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu untuk bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu. “Dalam tiga hari ini akan datang berturut-turut lima belas orang prajurit sandi terpilih. Mereka akan menyebar di sekitar Tanah Perdikan ini untuk menilai kekuatan lawan,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda. “Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu. “Aku sendiri akan berada di sini.” Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari, lima belas orang prajurit dari pasukan sandi telah berada di Tanah Perdikan. Mereka memperkuat pasukan sandi yang sudah ada di Tanah Perdikan. Bahkan mereka adalah prajurit dari pasukan sandi yang dilatih secara khusus untuk menjalankan tugasnya. Dari para petugas sandi, baik yang berasal dari para pengawal Tanah Perdikan, dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, maupun para petugas yang datang kemudian setelah Ki Tumenggung Wirayuda berada di Tanah Perdikan, telah memberikan laporan bahwa persiapan dari gerombolan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga, telah meningkatkan kesiagaan mereka. Agaknya tidak lama lagi mereka akan segera menyerang. Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi gelisah mendengar kemungkinan itu. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas diri mereka. Jika orang-orang Tanah Perdikan itu kurang ikhlas menerima kehadiran mereka, maka nasib mereka akan menjadi kurang baik. Sebaliknya, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai Tanah Perdikan, nasib mereka pun akan tidak menentu. Dalam kegelisahan itu, ternyata yang dicemaskan Empu Wisanata itu pun terjadi. Menjelang tengah hari, dua ekor kuda berhenti di depan regol halaman rumah Agung Sedayu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan turun dari kuda mereka dan menuntun kuda mereka memasuki halaman. Sukra berdiri di pintu seketheng melihat keadaan kedua orang itu. Dengan tergesa-gesa ia pun mendekatinya sambil bertanya, “Siapakah yang kalian cari?” Perempuan yang datang itu dengan ramah menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Empu Wisanata. Apakah Empu ada di rumah?” “Ada. Marilah. Silakan naik.” “Terima kasih,” jawab perempuan itu.. Sukra pun kemudian telah masuk kembali melalui butulan, untuk menemui Empu Wisanata yang duduk di serambi bersama Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. “Ada tamu, Empu.” “Siapa, Sukra?” “Aku belum mengenal mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang perempuan berpakaian rapi dan berhias seperti akan pergi menghadiri upacara pernikahan. Yang laki-laki agaknya pernah datang kemari, tetapi entahlah.” Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Empu Wisanata itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani, “Marilah. Kita temui mereka.” Keempat orang itu pun kemudian telah keluar lewat pintu pringgitan untuk menemui tamu yang duduk di pendapa. Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan. Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun terkejut. Laki-laki dan perempuan itu adalah Ki Saba Lintang sendiri, serta Nyi Yatni. Dalam pada itu, dengan serta-merta Nyi Yatni itu pun langsung berjongkok di depan Empu Wisanata sambil memeluk kakinya. Dengan sendat Nyi Yatni itu berdesis, “Ampuni aku, Ayah.” Jantung Empu Wisanata rasa-rasanya menjadi semakin cepat berdetak. Diangkatnya bahu anak perempuannya agar Nyi Yatni itu berdiri. “Kenapa kau minta ampun kepada ayahmu?” bertanya Empu Wisanata. “Aku telah meninggalkan Ayah begitu saja.” “Kenapa kau meninggalkan aku, Yatni?” bertanya Empu Wisanata pula. “Hatiku gelap pada waktu itu, Ayah.” “Sekarang kau mendapat terang di hatimu?” “Ya. Aku mohon Ayah mengampuniku.” “Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandangnya Ki Saba Lintang yang berdiri tegak seperti tiang-tiang pendapa itu. Namun kemudian meskipun dengan bimbang dan ragu Empu Wisanata itu pun berkata, “Aku ampuni kau, Yatni.” “Terima kasih Ayah. Terima kasih.” Nyi Yatni pun kemudian berlari mendapatkan adiknya. Dipeluknya Nyi Dwani sambil berkata, “Senang sekali melihat keadaanmu, Dwani. Agaknya kau sudah sembuh.” “Ya, Mbokayu,” jawab Nyi Dwani. Nyi Yatni pun kemudian melepaskan Nyi Dwani. Ditatapnya perempuan itu sambil memegangi kedua lengannya. Katanya, “Syukurlah, Dwani. Jika kau sudah sembuh, maka kita akan dapat pergi bersama-sama. Bahkan bersama-sama dengan Ayah.” “Pergi ke mana, Mbokayu?” bertanya Nyi Dwani. “Terserah kepada Ayah. Aku sudah bertekad untuk kembali kepada Ayah.” Tetapi Empu Wisanata pun berkata, “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Yatni.” Nyi Yatni tersenyum. Katanya, “Ayah memang suka bergurau sejak mudanya. Bukankah kau ingat itu Dwani?” “Tetapi kali ini aku sama sekali tidak bergurau, Yatni. Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Biarlah Ki Saba Lintang mendengarnya Aku sudah tidak lagi ingin bergabung dengan Ki Saba Lintang. Demikian pula Dwani. Terserah kepadamu dan kepada Suranata. Bukankah kalian sudah dapat mengambil sikap sendiri?” “Ah, Ayah. Aku datang untuk mohon maaf.” Empu Wisanata termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya itu. Wajahnya nampak cerah. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. “Duduklah,” berkata Empu Wisanata kemudian. Nyi Yatni pun kemudian berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ditariknya tangan Ki Saba Lintang untuk duduk bersamanya. Dengan manja Nyi Yatni itu pun berkata, “Marilah duduk Kakang.” Ki Saba Lintang tersenyum. Ia pun kemudian duduk di sebelah Nyi Yatni. “Ayah,” berkata Nyi Yatni kemudian, “aku telah mendengar bahwa Ayah dan Dwani telah bergabung dengan Kakang Saba Lintang. Demikian pula Kakang Suranata. Karena itu, maka aku datang menemui Ayah. Aku menyesali tingkah laku-ku selama ini karena aku telah meninggalkan Ayah. Ayah tentu selalu cemas dan bahkan mungkin bersedih. Nah, karena itulah, maka sekarang aku kembali kepada Ayah, dan ingin bersama-sama Ayah berada di dalam satu perjuangan, dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kakang Saba Lintang.” “Yatni, jangan mengigau seperti itu. Kau tahu di mana aku sekarang ini berada. Kau tentu sudah tahu pula, di mana aku sekarang berdiri.” Sambil memandang Ki Wijil dan Nyi Wijil, Nyi Yatni itu pun berkata, “Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak tidak akan berkeberatan untuk membiarkan Ayah dan Dwani pergi?” Ki Wijil itu pun menjawab, “Tentu tidak Ngger. Jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan pergi, aku sama sekali tidak merasa berkeberatan.” Jawaban itu terdengar aneh di telinga Nyi Yatni. Ia mengira bahwa jawaban yang akan didengarnya adalah berlawanan dengan jawaban itu. Namun Nyi Yatni itu pun berkata, “Nah, bukankah Ayah dapat pergi ke mana saja Ayah inginkan? Ayah di sini bukan tawanan. Bukan pula orang hukuman.” Empu Wisanata justru tersenyum mendengar jawaban Ki Wijil. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tidak seorang pun akan berkeberatan jika aku pergi. Tetapi aku memang tidak ingin pergi. Aku ingin tetap tinggal di sini, karena aku dan Dwani kerasan tinggal di sini.” Kening Nyi Yatni berkerut. Tetapi kemudian senyumnya nampak lagi di bibirnya, “Ayah. Jika Ayah dan Dwani bersedia pergi bersama kami, maka masa depan kita sekeluarga akan menjadi cerah. Aku akan menemui Kakang Suranata dan memanggilnya untuk menyatu kembali. Keluarga kita akan utuh, sementara itu kita masing-masing akan mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan kesatuan Kakang Saba Lintang.” Kemudian sambil berpaling kepada Ki Saba Lintang, Nyi Yatni itu berkata sambil tersenyum, “Bukankah begitu, Kakang? Kenapa kau hanya diam saja? Bantulah aku meyakinkan Ayah dan Dwani.” Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kami sangat mengharap kehadiran Empu Wisanata dan Nyi Dwani.” “Nah, Ayah dengar? Kita akan dapat menjadi pemimpin yang baik di dalam kesatuan Kakang Saba Lintang. Apalagi jika Dwani berhasil mendapatkan tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putih yang sudah dimiliki Kakang Saba Lintang, yang akan diberikan kepadaku. Aku dan Kakang Saba Lintang akan menjadi pasangan yang paling serasi untuk memimpin kesatuan yang besar, yang kelak akan menggulung Tanah Perdikan ini.” Wajah Nyi Dwani menjadi merah. Jantungnya serasa disuluti dengan api. Namun Empu Wisanata pun kemudian tertawa. Katanya, “Ki Saba Lintang tidak akan dapat berkata apa-apa di sini. Aku tahu betapa liciknya orang yang memiliki tongkat baja putih yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung jati.” “Ayah jangan berprasangka buruk. Kakang Saba Lintang yakin bahwa aku dapat mendampinginya. Apalagi jika tongkat baja putih yang satu lagi sudah ada di tanganku.” “Jadi kau ingin Dwani mengambil tongkat itu untukmu?” “Ya. Tetapi Dwani sudah gagal. Bahkan Ayah sampai hati untuk berusaha membunuhnya. Namun ternyata nyawa Dwani memang liat.” “Cukup!” bentak Nyi Dwani, “Aku muak mendengar dan melihat permainan yang kotor ini.” “Dwani. Kenapa kau?” “Aku tidak mau mendengar bualanmu lagi Mbokayu. Pergilah bersama Kakang Saba Lintang, sebelum aku memukul isyarat. Dengan isyarat itu, kalian tidak akan dapat lolos dari tangan para pengawal Tanah Perdikan ini.” “Aku yakin bahwa orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berbuat selicik itu,” berkata Nyi Yatni, “kami hanya berdua. Kami tidak datang menyerang Tanah Perdikan ini. Kami justru datang untuk menemui ayah dan kau, Dwani.” “Pergilah! Semakin cepat semakin baik.” “Kenapa aku harus segera pergi? Sedangkan kedua orang tua suami istri ini, yang agaknya termasuk orang penting di Tanah Perdikan ini saja tidak mengusirku.” “Permainan kalian sangat kasar. Kalian tidak berhasil menyakiti hatiku. Tetapi kalian membuat aku muak.” “Dwani, apa yang terjadi?” Namun Ki Wijil-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kami memang tidak mengusir kalian. Kami jarang sekali mendapat kesempatan melihat tontonan yang begitu menarik. Permainan yang sulit dibedakan dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.” Wajah Nyi Yatni menjadi tegang. Katanya, “Kami tidak sedang bermain. Kami juga bukan tontonan.” “Jangan marah. Mungkin kau menganggap dirimu bukan tontonan. Tetapi ternyata Ki Saba Lintang adalah seorang pemain yang sangat baik dalam satu pertunjukan yang sangat jenaka.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apa yang kau maksudkan?” Nyi Wijil dan Empu Wisanata yang tanggap akan maksud Ki Wijil pun tertawa pula. Hanya wajah Nyi Dwani sajalah yang masih tetap tegang. “Permainanmu sangat meyakinkan,” berkata Ki Wijil. “Aku tidak senang bermain-main,” sahut Ki Saba Lintang. “Jika demikian, tontonan ini semakin mengasyikkan,” Ki Wijil tertawa semakin keras, “jika kalian tidak sedang bermain, maka kalian adalah badut-badut yang sesungguhnya.” “Cukup!” teriak Nyi Yatni. Lalu katanya kepada Ki Saba Lintang, “Kau biarkan orang tua ini mengigau seperti itu?” “Ya,” sahut Empu Wisanata, “Ki Saba Lintang harus membiarkannya berbicara apa saja. Ki Saba Lintang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menghentikannya.” “Kakang!” jantung Ki Yatni bagaikan akan meledak. “Biarkan mulut yang sudah rusak itu berbunyi apa saja,” geram Ki Saba Lintang, “yang penting bagimu Nyi Yatni, usahakan agar keluargamu utuh kembali.” “Satu lawakan yang menarik,” sahut Empu Wisanata. “Ayah,” potong Nyi Yatni. “Yatni, jangan berpura-pura. Aku minta segera tinggalkan tempat ini. Kau tidak akan berhasil untuk mengajak kami. Jika cara ini ditempuh oleh Ki Saba Lintang untuk menyakiti hati Dwani, ia pun tidak berhasil. Aku tidak tahu, apakah Yatni mengerti atau tidak bahwa ia sudah menjadi alat Ki Saba Lintang.” “Alat apa?” “Sudah. Jangan hiraukan. Marilah kita tinggalkan sarang iblis ini. Semakin lama kita di sini, maka semakin kabur penalaran kita atas persoalan-persoalan yang kita hadapi.” “Kita tidak berjantung tanah liat, Kakang.” Tetapi Ki Saba Lintang itu pun segera bangkit sambil berkata, “Kita berhadapan dengan orang-orang licik yang pandai memutar balikkan keadaan. Nyi Yatni, kita memang tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa membiarkan Empu Wisanata dan adikmu Nyi Dwani ikut lumat bersama Tanah Perdikan ini, sebagaimana dikatakan oleh Suranata.” Nyi Yatni pun kemudian bangkit pula. Demikian pula Empu Wisanata, Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani. “Jadi Ayah menolak untuk memulihkan keutuhan keluarga kita?” bertanya Nyi Yatni kemudian. “Tentu tidak, Yatni. Tetapi aku harus memperhitungkan maksud yang sesungguhnya dari niatmu untuk memulihkan keutuhan keluarga kita itu. Aku pun harus memperhitungkan, siapakah yang telah menggerakkan kau datang kepadaku.” “Jadi apakah artinya kesediaan Ayah memaafkan aku?” “Aku telah memaafkan semua kesalahan yang pernah kau lakukan Yatni. Aku tidak pernah mendendammu. Tetapi sudah tentu aku pun tidak akan dapat kau bawa menerjuni lubang sumur berapi.” “Baik. Baik Ayah. Jika Ayah kokoh pada sikap dan pendirian Ayah itu, apa boleh buat. Agaknya Dwani pun telah terpengaruh pula oleh sikap Ayah, sehingga ia telah meninggalkan kesetiaannya kepada perguruan Kedung Jati, meskipun Ayah pernah mencoba untuk membunuhnya.” “Cukup, Mbokayu!” sahut Nyi Dwani, “Aku masih dapat berpikir waras. Karena itu, sebaiknya Mbokayu segera meninggalkan tempat ini” Nyi Yatni tertawa pendek. Katanya, “Kau bagiku adalah seorang adik kebanggaan, Dwani.” “Terima kasih Mbokayu. Tetapi kita adalah saudara kandung yang saling mengenal sejak masa kanak-kanak kita. Mbokayu mengenal aku, sifat-sifat dan watakku, sedangkan aku mengenal Mbokayu dengan sifat-sifat dan watak Mbokayu.” Wajah Nyi Yatni menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Saba Lintang telah menarik tangannya sambil berkata, “Marilah. Kita jangan terlalu lama di sini. Jika semula aku yakin bahwa tidak akan ada kelicikan di Tanah Perdikan ini, akhirnya aku menjadi ragu-ragu.” “Baiklah,” sahut Nyi Yatni. Lalu ia pun berkata kepada ayahnya, “Ayah, Aku mohon diri. Terima kasih bahwa Ayah telah memaafkan segala kesalahanku. Bagaimanapun juga aku masih ingin membalas segala kebaikan budi Ayah, sehingga aku ingin pada suatu ketika aku dapat membahagiakan Ayah, serta menempatkan Dwani di jenjang kedudukan yang terhormat sesuai dengan kemampuannya yang tinggi.” “Terima kasih, Mbokayu,” sahut Nyi Dwani. “Aku mohon diri, Ayah.” “Hati-hati-lah menempuh jalan kehidupan, Yatni,” desis Empu Wisanata. Nyi Yatni mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga masih terasa nada bicara seorang ayah yang mencemaskan keadaan anaknya. Namun Nyi Yatni tidak sempat berbicara lebih banyak lagi. Ki Saba Lintang pun kemudian menariknya. Tidak lagi memegangi pergelangan tangannya, tetapi justru memegangi pinggangnya. Demikian mereka turun dari pendapa, Nyi Yatni pun justru seakan-akan melekat di tubuh Ki Saba Lintang, dan berjalan bersama-sama menuju ke kuda mereka. Darah Nyi Dwani rasa-rasanya memang telah mendidih. Terbayang di masa kanak-kanak mereka. Permainan apapun yang dipegangnya, jika kakak perempuannya itu mengingini, selalu dirampasnya. Yatni sama sekali tidak peduli, apakah Dwani akan menangis atau tidak. Hal itu seakan-akan kini telah terulang. Nyi Yatni itu telah merampas Ki Saba Lintang dari sampingnya. Namun terdengar Empu Wisanata itu berbisik di telinganya, “Jangan mengulangi kesalahan yang sama karena perasaan cemburumu itu.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kendali sehingga ia telah berusaha membebaskan Rara Wulan, karena jantungnya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Sementara itu ayahnya berbisik pula, “Kau sekarang tidak membutuhkan lagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani itu mengangguk kecil. Sedangkan Empu Wisanata berkata selanjurnya, “Kasihan Yatni. Ia tidak lebih dari alat bagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi bagaimanapun juga, jantungnya terasa bergetar semakin cepat ketika ia melihat bagaimana Ki Saba Lintang membantu Nyi Yatni naik ke atas punggung kudanya, meskipun sebenarnya hal itu dapat dilakukannya sendiri. Demikianlah, sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah keluar dari regol halaman, sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani berdiri saja di tangga pendapa. Namun di regol Nyi Yatni itu masih sempat melambaikan tangannya sambil berkata, “Ingat Ayah, pada suatu saat aku akan membahagiakan Ayah.” Empu Wisanata tidak menjawab. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda yang berlari semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran mereka. Dalam pada itu, Nyi Dwani pun segera berlari melintasi pendapa dan masuk ke dalam biliknya. Dengan serta-merta Nyi Dwani telah menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringannya. Ketika Empu Wisanata memasuki bilik itu, dilihatnya Nyi Dwani menangis terisak-isak. Sambil duduk di bibir pembaringan, Empu Wisanata itu pun bertanya, “Kenapa kau menangis, Dwani?” Nyi Dwani itu pun bangkit dan duduk di sisi ayahnya. Dengan sendat Dwani itu pun menjawab, “Aku merasa kesal sekali Ayah.” “Kau merasa cemburu?” “Tidak,” jawab Nyi Dwani tegas. “Jadi?” “Aku hanya ingin mengurangi beban yang menggelantung di hatiku. Aku ingin meyakinkan diriku, bahwa aku tidak lagi bergayut kepada siapa pun.” “Dengan menangis?” “Ya. Dengan menangis.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Dwani. Jika dengan menangis kau dapat mengurangi beban di hatimu, bahkan meyakinkan dirimu sendiri tentang kemandirianmu, lakukanlah.” Dwani tidak menjawab. Namun Nyi Dwani justru sudah tidak menangis lagi. Namun sebenarnyalah Nyi Dwani seakan-akan telah benar-benar berubah. Ia menjadi semakin yakin akan dirinya. Kepercayaannya kepada keyakinannya pun menjadi bertambah. Di malam hari, ketika seisi rumah itu duduk di ruang dalam untuk makan malam, kedatangan Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni telah menjadi bahan pembicaraan. “Kedatangan mereka menjadi satu isyarat,” berkata Agung Sedayu. “Isyarat apa?” bertanya Sekar Mirah. “Isyarat bahwa Ki Saba Lintang sudah siap untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Dari mana Kakang mengetahuinya?” bertanya Glagah Putih. “Ki Saba Lintang sudah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Nampaknya memang demikian. Kita memang harus tanggap.” “Sebaiknya pasukan pengawal Tanah Perdikan segera ditempatkan sesuai dengan rencana pembagian kekuatan. Besok aku juga akan mengatur pasukanku dan akan langsung ditempatkan. Karena itu, besok pagi-pagi aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Prastawa. Aku minta Glagah Putih ikut bersamaku.” “Baik, Kakang.” “Mungkin kita akan berada di tempat yang terpisah yang satu dengan yang lain,” berkata Agung Sedayu pula, “setiap pasukan akan disertai oleh satu atau dua orang di antara kita.” Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Agung Sedayu. Yang akan mereka hadapi adalah serangan-serangan yang tidak saja datang dari satu arah. Sedikit-sedikitnya mereka harus bersiap menghadapi pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep, dan dari sisi utara, yang berkemah di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Demikianlah, seperti yang direncanakan, pagi-pagi sebelum Agung Sedayu pergi ke barak pasukannya bersama Glagah Putih, ia pergi menemui Ki Gede. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu dan Glagah Putih berbincang dengan Ki Gede dan Prastawa, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk menghadapi serangan yang nampaknya akan segera terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Gede pun sependapat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan serta orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan itu akan berpencar. “Nanti sore aku akan menghadap lagi, Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “siang ini barangkali aku akan mendapat bahan-bahan baru dari para petugas sandi.” “Aku menunggu, Ki Lurah. Sementara itu, aku minta Angger Glagah Putih siang nanti dapat bersama-sama dengan Prastawa menentukan kedudukan para pengawal, sesuai dengan perkembangan keadaan serta kesiagaan orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri, sedangkan Glagah Putih masih akan memanggil Sabungsari untuk diajak menemui Prastawa. Dari rumah Ki Gede, Agung Sedayu singgah di rumahnya sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu pun segera berangkat ke baraknya. Hari itu, segala sesuatunya harus sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Di baraknya Agung Sedayu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang, bersama Ki Tumenggung Wirayuda. Beberapa laporan petugas sandi telah melengkapi penilaian mereka terhadap kekuatan lawan yang berada di beberapa tempat di luar Tanah Perdikan. Bersama Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu pun telah membagi kekuatannya. Selain Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di barak itu juga sudah datang, berangsur-angsur sehingga tidak menarik perhatian, prajurit Mataram dari Ganjur. Menghadapi serangan dari pasukan yang kuat, sebagian prajurit yang berada di Ganjur telah diperbantukan kepada Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, untuk memantapkan pertahanan di seluruh Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu pun telah menyelenggarakan satu pertemuan dari semua unsur yang ada di Tanah Perdikan. Untuk menghadapi kemungkinan yang dapat datang setiap saat, malam itu juga Agung Sedayu telah mempertemukan Ki Gede Menoreh, Ki Tumenggung Wirayuda, para pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur, serta orang-orang berilmu tinggi yang berada di rumah Agung Sedayu. Untuk menjaga segala kemungkinan, Agung Sedayu telah minta Ki Wijil dan Nyi Wijil untuk tinggal di rumah bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Sambil tertawa Ki Wijil pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan tinggal di rumah.” “Biarlah Sayoga ikut bersama kami, Ki Wijil.” “Aku akan menunggu tugas apa yang dapat aku lakukan menghadapi keadaan yang gawat di Tanah Perdikan ini.” Dalam pada itu, Ki Lurah itu pun berkata, “Jangan tersinggung Empu. Bagaimanapun juga kami harus berhati-hati.” “Aku mengerti Ki Lurah. Kami tidak merasa tersinggung sama sekali.” Malam itu segala sesuatunya telah ditentukan. Semua pihak telah mendapat tugasnya masing-masing. Mereka terbagi dalam daerah-daerah pertahanan, untuk menghadapi pemusatan tenaga kekuatan dari pasukan yang siap menerkam Tanah Perdikan itu. Untuk memimpin pertahanan itu, semua pihak telah menunjuk Ki Gede Menoreh. “Kemampuanku bukan apa-apa dibanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Gede. “Tetapi pengalaman dan. pengetahuan Ki Gede adalah yang paling luas di antara kita,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “aku tidak lebih dari seekor katak yang bersembunyi di bawah tempurung.” Ki Tumenggung Wirayuda-lah yang menyahut, “Kita tahu, apa yang pernah Ki Gede lakukan semasa Ki Gede masih terhitung muda dahulu.” Ki Gede akhirnya tidak dapat menolak. Ia akan memimpin pertahanan menghadapi kekuatan yang cukup besar yang mengancam Tanah Perdikannya. Tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena Ki Gede adalah pemimpin Tanah Perdikan itu. Malam itu, pertemuan itu pun telah menentukan kekuatan yang akan berpencar di sepanjang perbatasan. Tetapi kekuatan itu akan berpusat pada tiga induk pertahanan ,menghadapi kekuatan lawan yang sedang dihimpun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di sisi utara. Dari para petugas sandi didapat laporan, bahwa kekuatan yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga di sisi utara, hampir seimbang, sehingga rencana pertahanannya pun dibuat seimbang pula. Namun demikian, Ki Gede Menoreh juga memerintahkan untuk memperkokoh dinding padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin sekali akan terjadi bahwa di antara pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu, akan ada kelompok-kelompok yang ditugaskan untuk menyusup menusuk langsung ke padukuhan induk. Mereka akan memperhitungkan bahwa padukuhan induk mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi rakyat dan para pengawal Tanah Perdikan. Jika padukuhan induk itu berhasil direbut, maka ketahanan jiwani terutama para pengawal Tanah Perdikan akan berkerut. Mereka seakan-akan merasa kehilangan tempat untuk bertumpu. Jika hal itu terjadi, maka pertahanan di Tanah Perdikan itu akan segera menjadi goyah. Di samping pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan lawan dari ketiga arah itu, maka di Tanah Perdikan pun telah disiapkan pula sekelompok pasukan berkuda, yang terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus, para petugas sandi, serta penghubung yang akan menghubungkan medan yang satu dengan medan yang lain. Mungkin mereka harus menyampaikan laporan secepatnya kepada Ki Gede atau kepada para pemimpin yang berada di medan. Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Gede telah memanggil adiknya, Ki Argajaya yang agak lama memilih hidup di dalam satu lingkungan kecil. Sejak saat ia gagal merebut kekuasaan di Tanah Perdikan itu, yang kemudian mendapat pengampunan sehingga ia tidak dijatuhi hukuman yang berat, apalagi hukuman mati, Ki Argajaya merasa lebih baik menyisihkan diri. Tetapi ia seakan-akan telah diwakili oleh anak laki-lakinya, Prastawa, yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Argajaya,” berkata Ki Gede, “sudah waktunya kau bangun.” “Aku sudah tua, Kakang,” jawab Ki Argajaya, “biarlah yang muda-muda itulah yang tampil di medan perang.” “Ya. Yang muda-muda akan tampil di medan perang. Tetapi aku minta kau bantu aku mengendalikan pertahanan ini. Aku telah ditunjuk untuk memimpin pertahanan di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat mengelak, karena aku-lah Kepala Tanah Perdikan ini.” Ki Argajaya ternyata juga tidak dapat mengelak. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika Kakang masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan kepadaku, aku akan melakukan perintah-perintah Ki Gede.” Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Kita akan mengendalikan pertempuran dari padukuhan induk. Kita akan mengamati pertempuran lewat para penghubung yang akan hilir mudik ke medan. Tetapi kita pun bersiap menghadapi kemungkinan penyusupan lawan untuk langsung menyerang induk ini.” “Di mana Ki Lurah Agung Sedayu akan berada?” bertanya Ki Argajaya. “Ia akan berada di medan. Ia akan memimpin pasukan untuk menghadapi lawan yang sekarang menimbun kekuatan di Pucang Kerep, dan yang sudah ancang-ancang untuk menyerang.” “Siapa yang akan memimpin pasukan yang berada di sisi selatan, menghadapi kemungkinan serangan dari kekuatan yang berada di Krendetan?” “Ki Lurah Sura Panggah, pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur. Sedangkan Ki Tumenggung Wirayuda akan berkedudukan di barak Pasukan Khusus. Namun mungkin ia akan berada di medan yang dipilihnya sendiri.” “Yang akan memimpin perlawanan di sisi utara untuk menghadapi kekuatan yang ada di sekitar tempuran Kali Elo dan Kali Praga?” “Pimpinan pasukan itu dipercayakan kepada Prastawa.” “Bukankah di antara pasukan itu juga akan terdapat prajurit dari Pasukan Khusus, atau dari antara prajurit yang datang dari Ganjur?” “Ya, Pasukan Khusus dan para prajurit yang datang dari Ganjur akan dibagi di tiga pemusatan pasukan Tanah Perdikan.” “Sebaliknya para pengawal Tanah Perdikan juga akan berada di ketiga tempat itu?” bertanya Ki Argajaya. “Ya,” jawab Ki Gede, “sementara kita akan berada di padukuhan induk ini untuk mengendalikan pertempuran dalam keseluruhan.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku siap untuk melakukannya, Kakang.” “Tetapi tidak mustahil bahwa kita harus bertempur, jika sekelompok lawan berhasil menyusup sampai ke padukuhan induk ini.” “Ya. Aku akan mempersiapkan diriku.” “Menurut pengalaman, hal seperti itu pernah terjadi, sehingga tidak mustahil bahwa hal seperti itu akan terjadi lagi.” “Baik Kakang. Aku akan mempersiapkan diri di rumahku.” “Pintu gerbang padukuhan induk yang sudah diperkuat itu akan ditutup setiap hari. Orang yang masuk dan keluar akan mendapat pengawasan yang ketat. Sementara itu, lalu lintas di Tanah Perdikan ini, kecuali di padukuhan induk, masih dapat berlangsung seperti sebelumnya. Maksudku, jalan-jalan di Tanah Perdikan ini tidak akan ditutup. Mereka yang melintas dari timur ke barat, atau dari barat ke timur atau ke utara, tidak akan dihambat. Sebaiknya kau tinggal di rumah ini.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mulai besok aku akan berada di rumah ini.” Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah ditetapkan menjadi landasan pertahanan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, yang akan bergabung dengan para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, serta para prajurit yang datang dari Ganjur. Masing-masing pada dasarnya dibagi menjadi empat. Tiga kelompok pasukan akan berada di tiga landasan pertahanan, sementara satu bagian merupakan pasukan cadangan, yang akan turun ke medan setiap saat jika diperlukan. Tidak termasuk pasukan berkuda, pasukan yang bergerak ke mana saja mereka diperlukan. Dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan Menoreh akan dibagi pula untuk berada di tiga landasan utama pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Beberapa padukuhan yang telah dipersiapkan untuk menjadi landasan pertahanan telah diperkuat. Dinding padukuhan pun telah diperkuat pula. Demikian pula pintu gerbangnya. Beberapa panggungan telah dibangun untuk mengawasi keadaan. Tetapi pasukan gabungan Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan sekedar bertahan di padukuhan-padukuhan itu. Mereka akan membuat garis pertahanan di luar padukuhan, langsung menghadapi gerak para penyerang, yang ternyata mengambil ancang-ancang cukup panjang. Hanya dalam keadaan yang terpaksa mereka akan memanfaatkan dinding-dinding padukuhan, sementara para penghubung akan memberikan laporan kepada Ki Gede, sehingga Ki Gede akan dapat mengambil kebijaksanaan. Sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan, para prajurit dari Pasukan Khusus, maupun para prajurit yang diperbantukan dari Ganjur, telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika perintah itu datang, maka dengan cepat mereka bergerak. Sementara itu para petugas sandi pun telah memberikan laporan, bahwa kegiatan pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga pun telah meningkatkan persiapan mereka. Namun ternyata bahwa pasukan yang siap untuk menyerang Tanah Perdikan itu bekerja cukup cermat. Mereka tidak langsung menyerang dari landasan ancang-ancang mereka. Tetapi mereka telah membuat anak-anak landasan di tempat yang lebih dekat. Para petugas sandi mengikuti perkembangan persiapan orang-orang yang siap menyerang Tanah Perdikan itu. Mereka mengamati kelompok-kelompok yang bertugas untuk berada beberapa ratus patok di hadapan pasukan induk. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bukan baru untuk pertama kali menghadapi kekuatan yang mengancam Tanah Perdikan mereka. Mereka pun pernah menghadapi sepasukan orang-orang yang garang, yang membuat kemah di balik bukit. Mereka juga pernah menghadapi kekuatan yang menyusup sampai ke padukuhan induk. Mereka pun pernah menghadapi berbagai macam lawan. Di luar Tanah Perdikan, sebagian dari mereka pernah bertempur dalam gelar pasukan yang luas. Bahkan terakhir sebagian dari mereka telah ikut pergi ke Pati. Karena itu, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah mempunyai pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam sifat dan watak lawan. Dari yang kasar, liar dan bahkan buas, sampai mereka yang bertempur dengan mapan dalam gelar yang utuh, serta menganut segala macam pranatan perang, serta mereka yang bertempur dengan licik dan mengesahkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Beberapa hari kemudian, mulai terjadi benturan-benturan antara para peronda dari kedua belah pihak. Para peronda dari Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang memang berpapasan dengan para peronda dari pasukan yang sedang menyusun kekuatan mereka di luar Tanah Perdikan itu. Sementara itu, beberapa kademangan yang berada di garis lurus yang menghubungkan kedua kekuatan yang akan beradu di medan perang itu, harus menentukan kebijaksanaan mereka. Ternyata orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu telah memberi peringatan agar mereka tidak ikut campur, agar mereka tidak ikut terlibat dalam pertempuran yang akan banyak menelan korban. Sebaliknya Tanah Perdikan Menoreh pun telah memperingatkan mereka untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk itu pula. “Sebaiknya kalian menghindar. Jauhi medan pertempuran yang akan terjadi di perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami minta maaf, bahwa pasukan kami mungkin akan merembet keluar garis batas Tanah Perdikan untuk menghancurkan lawan.” Kademangan-kademangan kecil di luar Tanah Perdikan itu menyadari, bahwa mereka memang lebih baik menghindar. Jika dua ekor gajah bertarung, maka mereka lebih baik menyingkir daripada terinjak-injak. Persiapan kedua belah pihak pun menjadi semakin matang. Benturan-benturan kecil semakin sering terjadi. Namun benturan-benturan itu justru dapat dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan untuk menjajaki kemampuan lawan. Dalam pada itu, dalam puncak persiapan dari kedua belah pihak, sekelompok kecil orang telah menyeberangi pegunungan dan turun ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika sekelompok peronda melihat mereka, maka para peronda itu pun segera memotong jalan mereka. “Aku bukan petugas yang sedang meronda,” berkata orang yang berdiri di paling depan. Lalu katanya pula, “Aku adalah Ki Saba Lintang.” “Apakah maksud Ki Saba Lintang?” “Aku ingin bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Atau Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya peronda itu. “Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan berbicara dengan Ki Gede Menoreh.” Para peronda itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka tidak akan dapat menghambat keinginan sekelompok kecil orang-orang yang akan menemui Ki Gede Menoreh itu. Yang dapat mereka lakukan justru mengawal mereka sampai ke padukuhan induk. Namun dua orang di antara mereka telah memisahkan diri dan pergi ke rumah Agung Sedayu, memberitahukan kehadiran sekelompok kecil orang yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang untuk menemui Ki Gede Menoreh. Karena Agung Sedayu masih berada di barak, maka Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga-lah yang kemudian pergi ke rumah Ki Gede. Ki Gede menerima Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari gerakannya itu di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Sementara itu, para pengawal masih tetap berada di halaman rumah itu, bergabung dengan para pengawal yang sedang bertugas. Namun sebelum mereka mulai berbincang, maka Putih, Sabungsari dan Sayoga telah datang dan dipersilakan naik ke pendapa pula. Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas. Namun kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Meskipun demikian, nampak bahwa Ki Saba Lintang tidak senang melihat kehadiran anak muda itu. Ki Saba Lintang pun kemudian telah memperkenalkan diri bersama kawan-kawannya. Dengan tegas Ki Saba Lintang berkata bahwa mereka adalah para pemimpin dari gerakan yang akan membangun kembali perguruan Kedung Jati. “Apakah maksud kalian menemui aku?” bertanya Ki Gede Menoreh. “Ada yang ingin aku bicarakan dengan Ki Gede,” jawab Ki Saba Lintang. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang dapat kita bicarakan?” “Banyak, Ki Gede. Kita dapat berbicara tentang banyak hal untuk kepentingan kita bersama.” “Katakan, Ki Saba Lintang. Persoalan apa yang dapat kita bicarakan itu.” “Ki Gede,” berkata Ki Saba Lintang, “dalam tahap akhir dari perjuanganku, aku ingin menawarkan kerja sama kepada Ki Gede.” “Kerja sama apakah yang kau maksudkan itu?” “Aku telah mempersiapkan kekuatan yang besar sekali, Ki Gede. Kekuatan yang tidak dapat diperbandingkan dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, aku menawarkan kesempatan kepada Ki Gede. Jika Ki Gede mau bekerja bersama kami, maka Ki Gede akan mendapat kesempatan yang lebih luas di masa datang.” “Tegaskan bentuk dari kerja sama itu, Ki Saba Lintang.” “Kami minta Ki Gede menyediakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan perjuanganku menggapai Mataram. Ki Gede tidak usah membantu dalam arti kekuatan. Ki Gede tidak usah menyerahkan kelompok-kelompok pengawal kepada kami. Yang perlu Ki Gede lakukan hanyalah menyediakan pangan dan kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari selama perjuangan kami. Mataram tidak akan dapat bertahan lama. Hanya dalam keadaan memaksa kami minta bantuan kekuatan kepada Ki Gede.” “Tegasnya, Ki Saba Lintang ingin melibatkan kami dalam pemberontakan ini?” “Siapakah yang sebenarnya berontak? Ki Gede tentu tahu, siapakah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Gede tentu tahu bahwa yang sekarang memegang tampuk pimpinan adalah anak Pemanahan. Ki Gede pun tentu tahu, bagaimana Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senapati itu mendapatkan kedudukannya yang sekarang.” “Ya. Aku tahu. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati berusaha mempersatukan Mataram. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati bangkit ketika Pajang kehilangan nafas perjuangannya menyongsong masa depan. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, yang terjadi di Pajang adalah bencana, jika saat itu Panembahan Senapati masih belum menegakkan panji-panji pemerintahannya di Mataram.” “Apakah Ki Gede tidak tahu, siapakah yang telah membunuh Kanjeng Sultan, langsung atau tidak langsung?” “Kanjeng Sultan sudah tidak berdaya waktu itu. Perang di Prambanan sekedar satu langkah untuk satu kepastian. Seandainya tidak terjadi perang, seandainya Panembahan Senapati tidak berpijak di Mataram, dan kemudian Kangjeng Sultan wafat, tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi di Pajang.” “Khayalan seorang yang tersisih pada waktu itu,” berkata Ki Saba Lintang, “tanpa Panembahan Senapati, pemerintah Pajang akan berlangsung dengan baik. Kekuasaan akan mengalir tanpa gejolak sama sekali.” “Kau tentu dapat membayangkan apa yang terjadi antara Kanjeng Adipati Demak dan Pangeran Benawa pada saat itu.” “Riak yang kemudian menjadi gelombang yang melanda Pajang waktu itu, timbul karena prahara yang dihembuskan oleh Panembahan Senapati, yang telah lebih dahulu memberontak dan menguasai Mataram.” “Jika demikian, kau-lah yang tidak tahu apa yang telah terjadi. Apa katamu bahwa Pangeran Benawa justru telah disingkirkan ke Jipang?” “Sudahlah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita tidak sedang menilai aliran kekuasaan di Pajang. Yang penting sekarang, anak Pemanahan itu akan kami singkirkan. Kami telah mempunyai seorang yang pantas untuk menduduki tahta. Seorang keturunan Prabu Brawijaya.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Aku juga keturunan Prabu Brawijaya. Kau percaya?” “Jangan bergurau, Ki Gede. Aku berkata sebenarnya.” “Terserah tanggapanmu. Jika kau tidak percaya, aku hargai sikapmu, sebagaimana aku tidak percaya kepada orang yang kau sebut keturunan Brawijaya itu.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Namun ia masih mengendalikan dirinya. Sementara itu, seorang yang berwajah keras dengan janggut pendek yang mulai memutih berkata, “Ki Gede. Jika kami datang kemari, sebenarnyalah kami membawa niat yang baik. Jika kita dapat bekerja bersama, kita akan bersama-sama mendapat keuntungan. Kami tidak akan kehilangan kekuatan, karena bagaimanapun juga pertempuran di Tanah Perdikan ini tentu akan menelan korban. Sementara Ki Gede pun tidak akan kehilangan Tanah Perdikan ini.” “Kenapa aku akan kehilangan Tanah Perdikan ini?” “Jika kami harus merebut tanah perdikan ini dengan kekuatan, maka kami tidak akan melepaskannya lagi meskipun kepada Ki Gede. Kami akan memiliki Tanah Perdikan ini dan memanfaatkan segala isinya, termasuk orang-orangnya.” Jantung Ki Gede berdegup semakin cepat. Tetapi Ki Gede bukan seorang yang mudah hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, maka Ki Gede itu justru tersenyum. Dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Ki Sanak. Kau ingin bekerja sama dengan Tanah Perdikan ini? Tetapi belum lagi terdapat kesepakatan, kau sudah mengancam. Apakah dengan demikian kita akan mendapatkan satu persetujuan?” Sebelum orang itu menjawab, seorang yang lain yang bertubuh gemuk dan perutnya bagaikan menggelembung, menyahut, “Aku tidak telaten. Ki Saba Lintang, kenapa kau tidak langsung berterus terang saja? Katakan bahwa Ki Gede harus tunduk kepadamu. Jika kau terlalu baik hati, dengan sopan santun yang tinggi serta unggah-ungguh yang lengkap, maka tiga hari tiga malam kita belum selesai bicara.” Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun yang darahnya telah mendidih adalah Prastawa. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Pergilah selagi masih mungkin. Jika isyarat perang sudah berbunyi, maka kalian akan terjebak di Tanah Perdikan ini, dan tidak mungkin untuk keluar lagi.” Tetapi orang yang perutnya besar itu tertawa. Katanya, “Meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, mereka tidak akan dapat menahan kami.” “Biarlah Ki Saba Lintang menjawab,” tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “apakah benar kata orang yang perutnya buncit itu? Apakah benar bahwa meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, tidak akan dapat menangkapnya?” Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Ia mengenal beberapa orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu, termasuk Glagah Putih itu sendiri. Karena itu untuk beberapa lamanya ia justru terdiam. “Jawablah, Ki Saba Lintang,” desak Glagah Putih. Tetapi Ki Saba Lintang itu pun mengeram. Katanya kemudian, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita hanya membuang-buang waktu saja. Agaknya otak Ki Gede sudah membeku, sehingga ia tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang baik.” “Aku belum yakin,” berkata orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu, “agaknya Ki Gede belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.” Lalu katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede. Ki Gede tentu tidak senang melihat Tanah Perdikan ini menjadi karang abang. Kehancuran, kematian dan bencana lain yang tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, pertimbangkanlah kemungkinan yang lain. Bekerja sama dengan kami.” “Sudahlah. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” “Aku tahu, bahwa Ki Gede takut, atau katakan saja segan, kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi jangan cemas. Jika Ki Gede bersedia, biarlah kami yang mengurus Agung Sedayu itu.” Ternyata bukan hanya Prastawa yang tidak dapat menahan diri. Glagah Putih pun kemudian berkata, “Apa yang dapat kau lakukan terhadap Ki Lurah Agung Sedayu?” Orang yang berjanggut pendek yang sudah mulai memutih itu berkata, “Kau kira Ki Lurah Agung Sedayu tidak terkalahkan, sehingga seluruh dunia harus tunduk kepadanya?” “Katakan, siapa yang akan mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu itu.” “Untuk apa?” “Jika yang dimaksud adalah kau sendiri, maka aku tantang kau sekarang bertempur dengan jujur. Tidak usah langsung berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” geram Glagah Putih yang menjadi semakin marah. Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita tidak akan melayani gejolak perasaan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Kami datang untuk menawarkan satu bentuk kerja sama bagi Ki Gede. Tetapi Ki Gede tidak mampu melihat jauh ke depan.” Tetapi Ki Gede itu pun berkata, “Pergilah selagi kau sempat, seperti yang dikatakan oleh pimpinan pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan bermimpi bahwa aku akan menerima tawaran kerja sama itu, karena aku tahu bahwa yang kau tawarkan itu tidak lebih dari suatu muslihat yang licik.” “Apa yang pernah Ki Gede lakukan, dan apa yang selalu bergetar di jantung Ki Gede, itulah yang Ki Gede bayangkan dilakukan oleh orang lain.” “Cukup!” bentak Prastawa. “Jangan menyesal,” berkata orang yang berjanggut pendek, “kirimkan petugas sandi kalian untuk melihat persiapan kami. Kami akan menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kemudian kami akan meloncati Kali Praga dan menghancurkan Mataram.” Ki Gede tertawa pula. Katanya, “Mataram bukan sekelompok anak-anak yang bermain keraton-keratonan. Tetapi kau tahu bahwa Mataram memiliki pasukan yang kuat.” “Omong kosong,” geram orang yang perutnya buncit, “jika Mataram mampu menguasai daerah di sebelah timur, karena Mataram mendapat bantuan dari Pati, Demak, Grobogan dan Pajang. Ketika Mataram mengalahkan Pati, Mataram mempengaruhi rakyat di sebelah utara Gunung Kendeng, yang dengan resmi sudah diserahkan kepada Pati. Meskipun Pati telah membantu Mataram menyusuri daerah timur, tetapi akhirnya Pati dihancurkan pula oleh Panembahan Senapati. Tanpa bantuan dari daerah-daerah itu, Mataram bukan apa-apa lagi.” Glagah Putih-lah yang menyahut, “Khayalanmu ternyata menarik sekali, Ki Sanak. Tetapi sayang, bahwa kau berkhayal di hadapan orang-orang yang ikut mengalami sebagian besar dari peristiwa yang kau gubah di dalam khayalanmu menurut seleramu itu. Karena itu bagi kami, yang kau ceritakan itu tidak lebih dari sebuah khayalan yang menggelikan.” “Anak setan!” “Jangan hanya mengumpat. Jika kau menantangku, aku layani kau dengan jujur di hadapan saksi-saksi, termasuk Ki Saba Lintang dan kawan-kawanmu itu.” Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Sudah aku katakan. Jangan terpancing oleh mulut anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka memancing persoalan. Namun mereka tidak akan benar-benar jujur. Mereka dapat membuat cerita apa saja untuk memberikan kesan bahwa mereka berhak berbuat curang.” “Tetapi kata-katanya membuat telingaku menjadi merah.” “Kita tinggalkan tempat ini. Jika terjadi sesuatu, Ki Gede akan menyesal. Tetapi tentu bukan salah kita. Kita sudah menunjukkan niat baik kita dengan menawarkan kerja sama kepadanya. Jika ia menolak, itu salahnya sendiri.” Orang yang perutnya buncit, yang berjanggut tipis keputih-putihan, dan orang-orang yang menyertai Ki Saba Lintang itu pun kemudian telah bangkit. Dengan nada berat Ki Saba Lintang pun berkata, “Kami minta diri, Ki Gede. Kami masih memberi kesempatan Ki Gede untuk berpikir selama tiga hari. Selama itu, Ki Gede aku persilakan untuk mengirimkan orang-orang Ki Gede untuk melihat persiapan kami. Mungkin penglihatan mereka akan dapat membantu Ki Gede untuk mengambil keputusan.” “Aku sudah mendapat laporan tentang orang-orangmu yang sedang kau persiapkan untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Kami menempatkan orang-orang kami Ki Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga.” “Aku sudah tahu,” jawab Ki Gede. “Bagus. Tetapi Ki Gede tentu belum tahu kekuatan kami yang sesungguhnya. Jika Ki Gede menghendaki, kirimlah beberapa orang untuk melihat keadaan yang sesungguhnya. Asal mereka membawa kelebet putih, maka kami tidak akan mengganggu mereka.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Satu tawaran yang menarik, Ki Saba Lintang. Biarlah pada saatnya pasukan Tanah Perdikan datang untuk melihat kekuatan yang Ki Saba Lintang siapkan. Tetapi kami tidak akan membawa kelebet putih. Kami justru akan membawa pedang dan tombak serta perisai.” Ki Saba Lintang menggertakkan giginya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Yang penting, ia sudah mencoba untuk menggetarkan ketahanan jiwani pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun di hadapannya para pemimpin itu tidak menunjukkan kecemasan dan bahkan seakan-akan menertawakannya, tetapi Ki Saba Lintang berharap bahwa Ki Gede akan merenungkannya kemudian. Bahkan kemudian benar-benar mengirimkan petugas sandinya untuk melihat persiapan pasukannya yang akan menyerang Tanah Perdikan. Ki Saba Lintang yakin, jika para petugas sandi Tanah Perdikan melihat pasukan yang disiapkan, maka Ki Gede akan berpikir dua kali untuk menolak kerja sama dengan Ki Saba Lintang. Ketika kemudian Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya meninggalkan padukuhan induk, maka sekelompok peronda telah mengawalnya. Pemimpin peronda itu berkata kepada Ki Saba Lintang, “Kami akan mengantar Ki Saba Lintang sampai ke perbatasan.” “Terserah kalian,” jawab Ki Saba Lintang, “kami tidak memerlukan pengawalan.” “Hanya untuk menjaga kesalah-pahaman,” berkata pemimpin kelompok pengawal itu. “Kami tidak takut seandainya terjadi salah paham.” “Kami percaya. Yang kami tidak percaya adalah, bahwa kalian tidak akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan.” “Kami tidak ingkar,” jawab Ki Saba Lintang, “ternyata bahwa persiapan Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memadai bagi sebuah pertahanan. Kalian harus tahu, bahwa jika Ki Gede dalam tiga hari ini tidak menyatakan kesediaannya untuk bekerja bersama, maka medan perang yang akan terjadi tidak hanya di sepanjang perbatasan. Tidak pula sekedar di depan Krendetan, Pucang Kerep dan sisi utara Tanah Perdikan. Tetapi di atas setiap jengkal Tanah Perdikan ini akan terjadi perang. Darah orang-orang Tanah Perdikan akan tertumpah. Di dalam perang yang sengit, kami tidak akan dapat membedakan lagi, pengawal Tanah Perdikan, laki-laki tua, perempuan dan kanak-kanak. Jika tanah di atas Tanah Perdikan kemudian ditutup oleh warna darah, itu bukan salah kami.” “Alangkah dahsyatnya,” desis pemimpin pengawal itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi pertempuran yang sedahsyat apapun tidak akan menggetarkan kami. Perang di atas Tanah Perdikan ini bukan baru pertama kali ini terjadi.” “Persetan!” geram Ki Saba Lintang. Namun ia tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat diikuti oleh kawan-kawannya. Sepeninggal Ki Saba Lintang, Ki Gede pun kemudian berbicara dengan orang-orang yang ada di pendapa. Ki Argajaya, Prastawa, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga. Dengan nada dalam, Ki Gede itu pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang bersungguh-sungguh. Ia ingin menunjukkan bahwa pasukannya sangat kuat, sehingga yakin akan dapat merebut Tanah Perdikan ini. Bahkan ia ingin memamerkan kekuatannya, dengan memberi kesempatan kepada petugas sandi kita untuk melihat persiapannya di perkemahannya.” “Satu gerakan yang nampaknya meyakinkan. Tetapi menurut pendapatku, Ki Saba Lintang hanya ingin mengguncang ketahanan jiwa kita.” bersambung Posted in Buku 311 - 320 ♦ Seri IV Tagged Agung Sedayu, Empu Wisanata, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Ki Juru Martani / Ki Patih Mandaraka, Ki Saba Lintang, Nyi Dwani, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra Bagian 2 “Anjani?” Sekar Mirah menjadi semakin heran. Dipandangi-nya seraut wajah yang masih muda dan segar itu tanpa berkedip. Jauh di lubuk hatinya, telah terasa getar-getar yang tidak wajar seiring dengan sikap Anjani yang penuh dengan tanda tanya. “Mbokayu,” akhirnya keluar juga sepatah kata dari bibir merah jambu itu dengan sendat. Dengan sedikit menengadahkan wajahnya, sekuat tenaga Anjani mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas ujung bajunya sekedar untuk menahan gejolak di dalam dadanya. “Ada apa Anjani?” dengan sareh Sekar Mirah mencoba menenangkan hati Anjani. Dengan lembut dibelainya rambut Anjani yang hitam dan indah berombak. Lanjutnya kemudian, “Katakan lah. Jangan ragu-ragu. Engkau telah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Persoalanmu adalah persoalanku juga. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang ada pada diriku, aku akan selalu siap di sisimu untuk membantumu.” Kata-kata Sekar Mirah itu justru bagaikan sebuah bindi terbuat dari besi baja yang menghantam belanga yang penuh berisi air. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Belanga itu pun hancur berkeping-keping disertai dengan tertumpahnya air yang berada di dalamnya. “Mbokayu..!” diawali dengan sebuah jeritan kecil, Anjani ternyata telah menjatuhkan diri di hadapan Sekar Mirah. Diantara sedu-sedan yang tertahan-tahan, dipeluknya erat-erat kedua kaki Sekar Mirah sambil melanjutkan kata-katanya, “Silahkan mbokayu membunuhku sekalipun aku ikhlas, sebagai jalan menebus dosa-dosaku selama ini kepada keluarga mbokayu.” “Anjani!” seru Sekar Mirah sedikit agak keras sambil mengguncang-guncang pundak Anjani yang berlutut di hadapannya, “Apakah engkau sadar dengan kata-katamu itu? Untuk apa aku membunuhmu? Justru engkau telah menyelamatkan keluargaku sebanyak dua kali dan untuk semua itu aku belum sempat membalas kebaikan budimu.” Anjani menggeleng-gelengkan kepalanya sambil semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk menahan tangis yang terasa bergumpal-gumpal dan berdesak-desakkan ingin keluar dari tenggorokannya. Namun semua itu justru telah membuat tubuhnya semakin terguncang-guncang dan nafasnya tersengal-sengal. Sejenak Sekar Mirah termenung melihat keadaan Anjani. Berbagai tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya. Untuk beberapa saat dibiarkan saja Anjani dalam keadaannya walaupun ada sedikit kekawatiran tangis Anjani yang tertahan-tahan itu akan dapat membangunkan Bagus Sadewa, atau bahkan mungkin sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di luar bilik. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” pertanyaan itu telah menggelitik hati Sekar Mirah, “Mengapa Anjani merasa telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku? Padahal aku baru saja mengenalnya, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Masih terbayang dengan jelas di rongga matanya. Bagaimana Anjani dengan tandang yang sigap dan cekatan serta ilmu yang mumpuni berhasil melumpuhkan lawannya. Seandainya saat itu Anjani tidak muncul dan menolong mereka, tentu Bagus Sadewa telah berhasil mereka culik dan dijadikan sandera untuk melumpuhkan semangat juang Ki Rangga Agung Sedayu dalam berperang melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sedangkan dia sendiri dan Damarpati tentu juga akan mengalami nasib yang sangat jelek. Jika tidak dibunuh, kemungkinan juga akan dijadikan sebagai tawanan. Tiba-tiba saja Sekar Mirah telah dikejutkan oleh angan-angannya sendiri. Jika saja saat itu ada petir yang menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan sekaget itu. Ketika terlintas di dalam benaknya, seseorang yang selama ini sangat dicintai dan dikaguminya sebagai suami dan ayah dari anaknya, jantung Sekar Mirah pun bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa. Siapa lagi yang dimaksud oleh Anjani jika bukan suaminya, Ki Rangga Agung Sedayu. Menyadari kemungkinan itu lah yang bisa saja terjadi, darah di sekujur tubuh Sekar Mirah pun bagaikan mendidih. “Anjani..!” geram Sekar Mirah kemudian dengan suara gemetar dan nafas yang memburu. Kedua bola matanya yang memerah darah itu dengan nanar memandang wajah Anjani yang menunduk. Sambil mencengkeram kedua pundak Anjani, Sekar Mirah pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Apakah yang engkau maksudkan itu, suamiku? Ki Rangga Agung Sedayu, he?” Mendapat pertanyaan seperti itu, justru Anjani semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Tangisnya pun telah pecah tanpa dapat dikendalikannya lagi. Ketika Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai adik Untara itu ternyata telah menunjukkan kedahsyatannya dalam lomba memanah dan mampu mengalahkan Sidanti, perhatian gadis Sangkal Putung itu pun kemudian berbalik kepada anak muda yang luruh dan rendah hati itu. Jiwa Sekar Mirah yang meledak-ledak dan selalu haus akan tantangan dan pengeram-eram, ternyata telah tunduk dan kagum akan kesederhanaan dan keluhuran budi putra kedua Ki Sadewa itu. Agung Sedayu yang mendapat kesempatan untuk melepaskan anak panah terakhirnya, ternyata lebih memilih memanah burung yang sedang terbang di angkasa dari pada tubuh Sidanti sendiri. Namun kekaguman Sekar Mirah itu tetap disertai dengan angan-angan bahwa suatu saat sifat anak muda yang dikagumi itu akan berubah menjadi laki-laki sebagaimana yang selalu ada dalam angan-angannya, laki-laki yang mengejar masa depannya dengan penuh semangat, yang siap mengurbankan apa saja demi mencapai cita-citanya. Bukan laki-laki yang hanya pasrah akan nasib dan nrimo ing pandum. Namun semua itu perlahan mulai berubah sejak dia menuntut ilmu olah kanuragan dan jaya kasantikan kepada Ki Sumangkar, adik seperguruan Ki Patih Mantahun. Dengan sangat telaten gurunya mulai membekali kawruh tentang kehidupan yang berhubungan dengan bebrayan agung. Hubungan timbal balik antara sesama manusia dan dengan Sang Pencipta. Terlebih lagi adalah kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya sebagai wujud rasa syukur atas karuniaNYA yang telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Ketika gadis Sangkal Putung itu pada akhirnya dipersunting oleh Agung Sedayu, adik Senapati Untara yang berkedudukan di Jati Anom, Ki Sumangkar yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta setelah peristiwa di lembah antara Merapi dan Merbabu, masih belum mampu menekan sifat-sifat itu sampai ke dasarnya. Perbedaan pandangan hidup yang lebih mengedepan-kan gelimang harta dan kemewahan bagi Sekar Mirah selalu menjadi perdebatan yang tak berujung pangkal dalam keluarga baru itu. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kesabaran, ketekunan dan tentu saja keteladanan dalam kebersahajaan hidup yang dicontohkan oleh suaminya lambat laun telah mempengaruhi pandangan hidupnya. Namun kini apa yang sedang terjadi ternyata telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang istri dan mengungkap kembali sifat-sifat aslinya yang telah terpendam sekian lama. Justru disaat keluarganya sedang menyambut kebahagiaan atas hadirnya buah hati yang telah mereka dambakan selama bertahun-tahun, seorang perempuan lain telah hadir dalam kehidupan suaminya. Penalaran Sekar Mirah pun menjadi goncang dan buram. Wataknya yang keras dan tidak mau tersaingi oleh orang lain telah muncul kembali. Demikianlah akhirnya, dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Sekar Mirah ternyata telah berusaha untuk melepaskan kedua kakinya dari pelukan Anjani. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Anjani. Tubuhnya terlempar dan menabrak dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal. Papan kayu jati itu memang tidak sampai pecah berantakan. Hanya suaranya saja yang terdengar berderak-derak memecah keheningan malam. “Mbokayu..?!” jerit Anjani terkejut bukan alang kepalang sambil mencoba merangkak bangun. Namun alangkah terkejutnya Anjani, begitu dia mendongakkan wajahnya, Sekar Mirah telah berdiri hanya selangkah di hadapannya. Di tangan kanan perempuan itu telah tergenggam sebuah senjata yang mengerikan, senjata ciri khas sebuah perguruan di jaman Demak lama. Perguruan yang namanya sangat dikenal di negeri ini dari ujung sampai ke ujung, perguruan Kedung Jati. “Mbokayu..?” kali ini terdengar lirih ucapan Anjani sambil perlahan bangkit berdiri. Tangisnya telah berhenti dengan sendirinya, berganti dengan keheranan yang luar biasa melihat perubahan sikap Sekar Mirah. “Anjani..!” terdengar berat dan dalam nada suara Sekar Mirah, “Kita adalah perempuan-perempuan yang memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Aku tahu engkau adalah murid Resi Mayangkara yang keberadaannya dipercaya hanya sebagai dongeng belaka, tapi aku tidak takut. Pergilah ke sanggar. Tunggu aku di sana. Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya malam ini, persoalan diantara kita berdua harus sudah tuntas.” Berdesir dada Anjani. Tidak ada gunanya lagi baginya untuk memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dengan suami Sekar Mirah itu. Menilik dari wajah dan sorot mata Sekar Mirah, perempuan itu agaknya sudah benar-benar waringuten dibakar api cemburu yang telah menghanguskan jantungnya dan tidak dapat diajak bicara lagi, kecuali dengan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun Anjani bukanlah anak kemarin sore yang menjadi silau dan gemetar melihat senjata mengerikan di tangan Sekar Mirah. Anjani pernah mengalami kehidupan yang kelam dalam asuhan kedua gurunya. Anjani dipaksa untuk tumbuh menjadi perempuan yang kasar dan liar serta mengesampingkan segala paugeran yang berlaku dalam kehidupan bebrayan agung, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya masih terpancar sinar pelita hati betapa pun lemahnya. Perkenalannya dengan Ki Ageng Sela Gilang atau Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati telah banyak membantunya mengenal kehidupan bebrayan yang ternyata tidak hanya hitam dan kelam sebagaimana ajaran kedua gurunya. Di sela-sela kesibukan kedua gurunya menghadap pangeran Ranapati di Kadipaten Panaraga, Anjani selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan Ki Singa Wana Sepuh. Demikianlah ketika dia kemudian bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, seakan-akan dia telah mendapatkan sebuah isyarat bahwa Ki Rangga lah yang akan menjadi lantaran baginya untuk dapat terbebas dari kekejaman kedua gurunya. “Anjani..!” bentakan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Anjani, “Sekarang juga, keluarlah dari bilik ini! Jika memang engkau terlalu pengecut untuk menerima tantanganku, sebaiknya engkau segera meninggalkan Menoreh dan jangan pernah menampakkan diri lagi!” Kembali sebuah desir tajam menggores jantung Anjani. Betapa pun Anjani telah merasa bersalah, namun dia bukanlah seekor cacing yang dengan sedemikian mudahnya untuk direndahkan. Harga dirinya pun terusik. “Mbokayu,” jawab Anjani kemudian dengan suara yang tenang dan mantap, “Terima kasih atas segala kebaikan hati mbokayu selama ini. Aku merasa terhormat menerima tantangan mbokayu untuk berperang tanding. Dengan senang hati aku terima tantangan ini, apapun alasannya aku sudah tidak peduli lagi. Betapapun hinanya diriku ini di hadapan mbokayu, akan tetapi harga diriku harus aku junjung tinggi. Aku tunggu mbokayu di sanggar.” Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah, Anjani dengan langkah tergesa-gesa segera berlalu dari tempat itu. Sepeninggal Anjani, untuk beberapa saat Sekar Mirah masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bilik. Berbagai perasaan sedang bergejolak di dalam dadanya. Ada sedikit perasaan bimbang yang bergelayut di hatinya. Bukankah dia belum menanyakan permasalahan yang sebenarnya ini kepada suaminya? Sejauh manakah hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua selama ini? Ki Rangga Agung Sedayu selama ini dikenalnya sebagai seorang suami yang lurus dan jujur. Adakah telah terjadi perubahan di dalam diri suaminya itu? “Kemungkinan itu tetap ada, selama kita masih berujud manusia,” berkata Sekar Mirah dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan gemuruh di dalam dadanya, “Manusia tidak pernah luput dari salah dan lupa.” Betapa kekecewaan dan kesedihan merajam jiwa dan raga Sekar Mirah, namun dia harus tetap tegar. Sebentar lagi dia akan menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dan dia masih ingin tetap hidup untuk melanjutkan cita-citanya. “Aku tidak boleh terbawa oleh penalaranku yang buram,” kembali Sekar Mirah berkata dalam hati sambil berjalan menuju ke pembaringan, “Jika aku terlalu menuruti perasaanku, dalam pertempuran nanti segala perhitungan dan pengetrapan ilmu-ilmu yang telah aku pelajari akan menjadi tumpang tindih dan dengan mudah akan terbaca oleh lawan.” Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di tepi pembaringan sambil merenungi Bagus Sadewa yang tidur lelap. “Anak ini memang aneh,” desis Sekar Mirah dalam hati, “Seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya, jika memang itu tidak akan membahayakan dirinya. Namun jika keadaan berkembang lain, dia akan terbangun dan menangis keras-keras. Biasanya begitu mendengar suara gaduh, bayi-bayi akan terbangun dan menangis karena merasa terganggu. Agaknya panggraita anak ini sangat tajam melampaui anak-anak sebayanya..” Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di tepi pembaringan, diletakkannya tongkat baja putih itu di samping Bagus Sadewa. Ketika dia kemudian membungkukkan badan untuk mencium pipi anaknya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah seseorang mendekati pintu bilik. Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik. Hampir saja Sekar Mirah berlari dan menubruk Pandan Wangi untuk meluapkan segenap kegelisahannya. Namun ternyata Sekar Mirah telah mampu menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Maka katanya kemudian sambil tersenyum ke arah Pandan Wangi, senyum yang setengah dipaksakan, “Marilah mbokayu. Mungkin ada sesuatu yang penting sehingga mbokayu memutuskan untuk kembali ke bilik ini.” Pandan Wangi tidak segera menjawab pertanyaan Sekar Mirah. Dipandangnya wajah adik suaminya itu dengan pandangan yang tajam, setajam ujung pedang bermata rangkap yang tergantung di sebelah menyebelah lambungnya. Betapa pun Sekar Mirah mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dadanya, namun Pandan Wangi yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan gonjang-ganjing di rumah tangganya sendiri itu tetap mampu menangkap kegalauan yang tersirat dalam seraut wajah adik iparnya itu. Dengan langkah perlahan Pandan Wangi berjalan memasuki bilik. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Sekar Mirah yang menunduk dan berpura-pura sibuk membenahi selimut Bagus Sadewa. “Mirah,” desis Pandan Wangi perlahan sambil duduk di sebelah Sekar Mirah, “Aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari dalam bilik ini,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk melihat kesan di wajah adik iparnya itu. Lanjutnya kemudian, “Aku juga mendengar dinding bilik ini berderak derak seakan mau runtuh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” Untuk sejenak Sekar Mirah hanya berdiam diri. Dicobanya untuk menahan isak tangis yang tiba-tiba saja berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya. Sementara dari kedua sudut matanya perlahan menitik satu-satu air mata yang bening. “Mirah,” kembali Pandan wangi berkata lembut sambil menyentuh pundak adik iparnya, “Sedikit banyak aku telah mengetahui hubungan Anjani dengan Kakang Aging Sedayu.” Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah pun terkejut bukan alang kepalang. Sambil menegakkan punggungnya dan kening yang berkerut-merut, dia menantap tajam kearah wajah mbokayunya. Terdengar suaranya bergetar dan sedikit tersendat, “Mbokayu sudah mengetahui persoalan suamiku dengan Anjani? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberapa saat Pandan Wangi justru terdiam. Namun Pandan Wangi segera dapat menguasai dirinya, maka jawabnya kemudian, “Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang hubungannya dengan Anjani pada saat kami berada di tepian kali praga sebelum pecah perang antara pengikut Panembahan Cahya Warastra dengan pasukan Mataram yang dibantu oleh pasukan pengawal Tanah Peridkan Menoreh.” Kedua mata Sekar Mirah menunjukkan keheranan yang sangat. Dengan mengerutkan keningnya dalam-dalam dia kembali mengajukan pertanyaan, “Mengapa mbokayu selama ini tidak pernah bercerita kepadaku? Mengapa mbokayu? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di antara kita selama ini? Bukankah kita ini sebuah keluarga besar yang saling membantu jika salah satu dari kita mendapatkan masalah? Mengapa justru mbokayu diam saja? Aku benar-benar tidak habis mengerti.” Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menahan perasaan yang kembali bergejolak di dalam hatinya. Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba untuk tidak menangis. “Aku bukan perempuan cengeng,” geram Sekar Mirah mengeraskan hatinya, “Aku perempuan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Perempuan kebanyakan hanya mampu merengek dan meratapi nasib yang jelek jika suami mereka berpaling kepada perempuan lain, namun aku tidak. Akan aku selesaikan permasalahan ini dengan caraku sendiri.” Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar kata-kata Sekar Mirah. Walaupun ucapan itu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, namun di sudut hati Pandan Wangi yang paling dalam, terasa sesuatu telah tergetar. “Aku memang perempuan cengeng,” keluh Pandan Wangi dalam hati, “Aku hanya dapat meratapi nasibku yang jelek ketika kakang Swandaru berpaling kepada perempuan lain,” Pandan Wangi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Katanya kemudian, “Maafkan aku, Mirah. Sejujurnya aku memang menunggu waktu yang tepat. Namun bukan berarti aku mengulur waktu dengan suatu pamrih pribadi. Tidak, Mirah. Justru aku menunggu saat yang tepat sampai Kakang Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dari sakitnya. Aku akan mengingatkan kakang Agung Sedayu tentang masalah ini dan biarlah dia sendiri yang akan menjelaskan kepadamu duduk permasalahan yang sebenarnya telah terjadi antara Kakang Agung Sedayu dengan Anjani, agar tidak terjadi salah paham.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Pandan Wangi. Sebuah desir tajam tiba-tiba menggores jantungnya. “Apa maksud mbokayu ini sebenarnya?” berkata Sekar Mirah dalam hati, “Mengapa mesti menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh? Seharusnya dengan mendengar langsung permasalahan ini dari kakang Agung Sedayu, mbokayu Pandan Wangi berkewajiban menyampaikannya kepadaku. Bukan malah sebaliknya, seolah-olah mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja masalah ini bergulir semakin besar.” Sejenak Sekar Mirah berhenti berangan-angan. Ketika tanpa sengaja sudut matanya tertumbuk pada sepasang pedang yang tergantung di lambung mbokayunya, tanpa sadar tangan Sekar Mirah tiba-tiba saja terjulur untuk meraih tongkat baja putihnya yang tergeletak di sisi Bagus Sadewa. “Mirah?” terkejut Pandan Wangi yang menyadari di tangan kanan Sekar Mirah telah tergenggam senjata kebanggaan perguruan Kedungjati. Dengan cepat putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang akan engkau perbuat dengan tongkat baja putihmu itu, Mirah?” Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangi kakak iparnya itu dengan pandangan tajam dan wajah yang tegang. Ingatannya segera melayang ke masa berpuluh tahun yang silam. “Pertama kali aku berjumpa dengan mbokayu ini, aku sudah dapat menangkap perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya terhadap kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah dalam hati mengenang masa lalu. “Kehadiranku di Menoreh dan kenyataan yang telah terjadi antara aku dan kakang Agung Sedayu agaknya tidak meredupkan cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu. Itu terbukti ketika keluarga mbokayu sedang mendapat cobaan. Ketika kakang Swandaru tergoda dengan perempuan lain, seharusnya orang pertama yang dijadikan tempat berkeluh kesah adalah ayahnya, Ki Argapati. Akan tetapi mengapa mbokayu justru telah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu, bukan ke rumahnya sendiri? Menyampaikan segala keluh kesahnya kepada kakang Agung Sedayu, bukan kepada ayahnya Ki Argapati?” “Bukankah kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruan kakang Swandaru dan sekaligus sebagai pengganti gurunya yang telah tiada?” jawab suara hatinya yang lain, “Sudah sewajarnya jika kejadian yang menyangkut kakang Swandaru harus dilaporkan kepada kakak seperguruannya.” “Tetapi bukankah kejadian itu tidak ada sangkut pautnya dengan paugeran atau pun wewaler sebuah perguruan? Mengapa mesti kepada kakang Agung Sedayu?” kembali suara hatinya yang lain menjawab. “Mungkin ada juga sangkut pautnya dengan paugeran atau wewaler dari perguruan orang bercambuk itu. Setiap perguruan tentu mempunyai paugeran atau wewaler yang khusus.” terdengar jawaban dari sudut hatinya yang dalam walaupun ada sedikit keraguan. Angan-angan Sekar Mirah tiba-tiba terputus ketika terdengar Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya, “Untuk apa tongkat baja putih itu, Mirah?” Namun jawaban yang diterima Pandan Wangi justru sebuah pertanyaan yang membuat sekujur tubuhnya bagaikan disiram banyu sewindu sehingga membekukan seluruh aliran darahnya. “Mbokayu,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Untuk apakah mbokayu malam-malam begini memakai pakaian khusus lengkap dengan sepasang pedang di lambung?” Tersirap darah Pandan Wangi sampai ke ubun-ubun. Untuk beberapa saat kakak ipar Sekar Mirah itu bagaikan membeku. Ternyata pertanyaan Sekar Mirah itu telah membuat jantungnya bedegup semakin kencang. Namun akhirnya Pandan Wangi segera mampu menguasai diri. Jawabnya kemudian, “Mirah, aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari arah bilikmu, dan juga suara dinding yang berderak-derak telah membuat aku harus waspada dengan apa yang sedang terjadi. Sungguh, Mirah. Aku tidak ada maksud apa-apa dengan pakaian khusus dan sepasang pedang ini. Aku hanya berjaga-jaga jika sesuatu berkembang semakin buruk, aku sudah siap.” “Apakah mbokayu sudah mengetahui atau setidaknya menduga apa yang akan terjadi antara aku dan Anjani?” kejar Sekar Mirah kemudian. “O, tidak tidak,” jawab Pandan Wangi dengan serta merta dengan raut wajah sedikit memerah, “Aku memang sempat menangkap kata-kata Anjani sebelum meninggalkan bilik ini yang ..” “Dan di pihak manakah mbokayu akan berdiri ..?” potong Sekar Mirah dengan cepat sambil memandang tajam ke arah mbokayunya. Seakan-akan ingin dijenguknya isi dada Pandan Wangi. Kali ini jantung Pandan Wangi benar-benar bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Dia tidak menduga bahwa adik iparnya itu akan berpikir sampai sejauh itu dalam menanggapi dirinya yang telah siap dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung. “Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah gemuruh di dalam dadanya sedikit mereda, “Mengapa engkau begitu mudahnya berburuk sangka kepadaku? Apa salahnya jika memang aku mengenakan pakaian khusus ini? Seperti telah aku katakan sebelumnya, aku tidak tahu keadaan sebenarnya yang telah terjadi dalam bilik ini. Tidak ada salahnya jika aku berjaga-jaga dan selalu siap dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja bagaikan tercekik. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Anjani, aku tidak berhak mencampuri urusan keluargamu. Berbicaralah dengan kakang Agung Sedayu. Aku tahu suamimu adalah seorang laki-laki sejati yang selalu memegang janji.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kedua sorot matanya memandang tajam ke arah Pandan Wangi seolah-olah ingin ditembusnya dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu untuk melihat apa warna jantungnya. “Mbokayu,” terdengar lirih suara Sekar Mirah namun penuh dengan getaran perasaan, “Aku ingin mbokayu berkata jujur. Sebenarnya masih adakah rasa cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu?” Jika ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepalanya, Pandan Wangi tentu tidak akan sekaget mendengar pertanyaan dari adik iparnya itu. Untuk beberapa saat pandangan Pandan Wangi menjadi berkunang-kunang dan nafasnya pun bagaikan tersumbat. “Mbokayu..?” desis Sekar Mirah perlahan begitu melihat Pandan Wangi tiba-tiba saja mengeluh pendek sambil menunduk dan memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya. Namun Pandan Wangi adalah perempuan yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang sarat dengan duka lara, walaupun dia pada kenyataannya adalah putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh. Hatinya telah ditempa untuk menderita sejak kanak-kanak. Sejak ibu yang mengandung dan melahirkannya pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Kemudian ketika dia menginjak remaja, Sidanti saudara laki-laki satu-satunya kemudian juga telah pergi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh bersama gururnya. Kebahagian sebagai keluarga yang berkumpul kembali hampir saja diraihnya ketika kakaknya Sidanti dan gurunya datang ke Menoreh, walaupun kesan pertama atas pertemuan mereka itu dirasakannya agak janggal. Dan ternyata kedatangan Sidanti memang tidak untuk membawakan setangkai bunga mawar yang indah untuk adik satu-satunya itu. Yang dibawa adalah seonggok bara yang kemudian membara dan membakar seluruh tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. “Mirah,” pelan Pandan Wangi berkata sambil mengangkat wajahnya. Wajah yang terlihat sangat letih dan kosong. Perempuan kelahiran Menoreh ini memang luar biasa. Segala perasaan dan tekanan yang sedahsyat apapun telah mampu diendapkan didasar hatinya, walaupun untuk semua itu dia harus mengabaikan perasaannya. Lanjutnya kemudian, “Itu semua adalah masa lalu. Mengapa mesti diungkap kembali? Biarlah menjadi kenangan manis atau pun pahit dalam kehidupan kita masing-masing. Yang ada di dalam kehidupanku sekarang adalah kakang Swandaru, betapapun dia telah berkali-kali menyakiti hatiku. Namun bagiku, kakang Swandaru adalah tetap sebagai suamiku dan ayah dari anakku.” Kalimat terakhir dari mbokayunya itu bagaikan seribu jarum yang menghujam ke jantung Sekar Mirah. Betapa dia tahu kakak iparnya itu di masa gadisnya pernah menaruh harapan kepada Gupita, seorang anak gembala yang ternyata bernama Agung Sedayu. Namun biduk cinta yang baru berlayar untuk pertama kalinya itu pun akhirnya harus pecah berkeping keping dan kemudian karam di kedalaman laut kehidupan yang tak terukur, setelah Pandan Wangi mengetahui hubungan yang telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. “Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya begitu melihat Sekar Mirah hanya diam membeku, “Aku tidak ingin memperkeruh suasana. Tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam hatiku untuk membiarkan rumah tanggamu menjadi goyah. Lebih baik engkau tanyakan sendiri persoalan keluargamu ini nantinya langsung kepada suamimu, sehingga apa yang akan engkau dengar nanti benar-benar sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.” Sekar Mirah masih diam membisu, namun wajahnya sudah tidak setegang tadi. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya tampak terkulai lemah di atas pembaringan. “Aku akan ke sanggar, menengok keadaan Anjani,” berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil bangkit dari duduknya, “Aku tidak ingin kalian mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit hanya karena persoalan seorang laki-laki. Betapa pun hebat dan sempurnanya laki-laki yang kalian perebutkan itu, semua itu tidak sepadan dengan harkat dan martabat kita sebagai perempuan.” Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Sekar Mirah, Pandan wangi pun segera melangkah menuju ke pintu bilik. “Mbokayu..,” tiba-tiba terdengar suara sendat Sekar Mirah ketika langkah Pandan Wangi hampir mencapai pintu bilik. Ketika Pandan Wangi kemudian memutar tubuhnya, tampak Sekar Mirah telah bangkit dari duduknya dan berdiri termangu-mangu di tepi pembaringan. Senjata andalannya yang nggegirisi itu tampak tergolek di tepi pembaringan. “Ada apa Mirah?” terdengar sareh suara Pandan Wangi. Sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang mbokayunya dengan sepasang mata yang basah, terdengar suaranya lirih dan sendat, “Terima kasih mbokayu dan maafkan atas keterlanjuranku.” Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil melangkah kembali menuju pintu bilik, “Renungkanlah terlebih dahulu apa yang akan engkau perbuat. Dengan nalar yang dingin dan hati yang pasrah, berdoalah kepada Yang Maha Agung agar engkau diberi petunjuk.” Sekar Mirah hanya dapat menganggukkan kepalanya ketika bayangan mbokayunya itu telah hilang di balik pintu. Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tampak menjadi sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang olehnya tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu, semangatnya seakan tumbuh lagi. “Apa boleh buat. Seperti mbokayu Pandan Wangi, aku pun harus siap menghadapi segala kemungkinan,” desis Sekar Mirah sambil berjalan menuju geledek dari kayu jati yang terletak di pojok bilik tempat pakaian khususnya tersimpan. Dalam pada itu, sebelum para peronda di gardu-gardu menabuh kentongan dengan nada dara muluk, rombongan Ki Tumenggung Purbarana telah mendekati tikungan Kaliasat. Beberapa saat yang lalu, dengan bantuan pengawal Sangkal Putung yang ikut di dalam rombongan itu, dengan mudah mereka telah melewati Kademangan yang subur itu tanpa hambatan sama sekali. Dengan seijin Ki Tumenggung Purbarana, pengawal yang berasal dari Sangkal Putung itu pun kemudian diperbolehkan untuk tinggal dan tidak ikut meneruskan perjalanan. “Mohon ijin Ki Tumenggung,” berkata salah satu Lurah prajurit yang menyertainya, “Apakah rombongan ini akan belok ke kiri menuju Hutan Macanan atau kah mengambil jalan lurus yang menuju padang rumput Lemah Cengkar sebelum memasuki Jati Anom?” Sejenak Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Menilik isyarat panah berapi yang kita lihat sebelum memasuki kademangan Sangkal Putung tadi, rombongan ini tentu sedang dalam pengamatan orang-orang yang sengaja akan membuat permasalahan dengan kita,” Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pasukan berkuda ini cukup banyak dan memerlukan medan yang luas jika memang akan terjadi pertempuran. Aku lebih cenderung memilih lewat padang rumput Lemah Cengkar. Di padang rumput yang luas itu, nanti kita akan melintas dalam gelar yang luas dan bergerak dengan kecepatan yang tinggi agar sulit untuk disergap.” Lurah prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sebuah hentakan kecil pada perut kudanya, dia melaju ke depan untuk memberi aba-aba agar pasukan berkuda itu mengambil jalan lurus menuju Lemah Cengkar. Ketika pasukan berkuda itu kemudian berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan tikungan Kaliasat dan menyusuri sebuah bulak kecil yang langsung menuju lemah Cengkar, mereka pun kembali dikejutkan oleh lontaran panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri. “Begitu kita memasuki padang rumput lemah Cengkar, atur jarak kalian,” perintah Ki Tumenggung kepada Lurah prajurit pengapitnya, “Usahakan kalian jangan berjajar dalam satu garis lurus agar memudahkan untuk saling membantu jika sewaktu-waktu terjadi penyergapan. Kita akan bergerak dalam Gelar Glathik Neba.” Para prajurit yang berkuda di sekitar Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar mendengar rencana Ki Tumenggung untuk menggunakan Gelar Glathik Neba selama melintasi padang rumput lemah Cengkar. “Sebuah gelar yang berbahaya,” hampir semua prajurit yang mendengar kata-kata Ki Tumenggung itu berkata dalam hati. Tak terkecuali Lurah pengapitnya tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon maaf Ki Tumenggung. Kita sedang membawa tawanan yang sangat penting dan perlu mendapat perlindungan. Apakah tidak sebaiknya kita menggunakan gelar Cakrabyuha?” Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Engkau benar. Gelar Cakrabyuha memang bertujuan untuk melindungi seseorang atau sesuatu yang sangat penting di pusat gelar, sedangkan gelar Glathik Neba justru akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusup sampai ke pusat gelar.” Lurah pengapit itu kembali mengerutkan keningnya. Dengan agak ragu-ragu dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan keselamatan Pangeran Jayaraga, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung tersenyum, bahkan kali ini agak lebar. Jawabnya kemudian, “Bukankah Pangeran Jayaraga juga berpakaian seperti prajurit kebanyakan? Mungkin hanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu yang masih dapat mengenalinya dalam pakaian prajurit kebanyakan serta dalam keremangan malam.” “Apakah Ki Tumenggung memang dengan sengaja memancing orang yang mengaku trah Mataram itu untuk memasuki pusat gelar?” bertanya Lurah itu selanjutnya. “Ya,” jawab Ki Tumenggung cepat, “Aku memang sengaja ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Setelah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, kita segera mengubah gelar menjadi Cakrabyuha.” “Mengapa tidak sekalian saja kita memakai gelar gedhong minep atau jurang grawah pada awal pertempuran sehingga kita tidak perlu mengubah gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. Kembali Ki tumenggung tersenyum sambil berpaling ke arah Lurah pengapit yang berkuda di sampingnya, jawabnya kemudian, “Penggunaan gelar gedhong minep atau jurang grawah akan sangat mudah ditebak tujuannya oleh lawan. Mereka tidak akan dengan sukarela memasuki gelar dan terjebak di dalam pusat gelar. Mereka tentu akan menggunakan gelar yang lebar, garuda nglayang atau capit urang misalnya. Sehingga mereka tidak akan langsung menyerbu ke dalam pusat gelar. Sebagai gantinya mereka akan menggunakan kedua sayap atau capit gelar itu untuk menusuk dan menghancurkan dinding gelar gedhong minep atau jurang grawah dari kanan dan kiri. Setelah dinding gelar jebol, barulah mereka akan memasuki gelar dan sekaligus menghancurkannya.” Lurah pengapit itu tampak masih ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Perubahan gelar dalam sebuah pertempuran yang kisruh akan sangat sulit dan tidak jarang membawa korban. Apakah kita mampu melakukannya, Ki Tumenggung?” Senyum Ki Tumenggung semakin lebar menanggapi pertanyaan Lurah prajurit yang masih cukup muda itu. Jawabnya kemudian, “Kita tidak menunggu sampai pertempuran benar-benar pecah. Begitu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, aku akan menyambutnya dan kalian segera bergerak membentuk gelar Cakrabyuha.” “Apakah para prajurit tidak akan mengalami kesulitan, Ki Tumenggung?” Ki Tumenggung tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Tentu saja tidak. Bukankah kita sudah sering melakukannya pada saat gladhen? Untuk itulah aku menyuruh kalian jangan sampai berjajar dalam satu garis lurus, sehingga pada saat perubahan gelar terjadi, kalian tinggal menyesuaikan dengan cara bergeser beberapa langkah untuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis.” Lurah pengapit itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Maaf Ki Tumenggung. Aku memang sering mengikuti gladhen itu, tapi itu sudah lama sekali terjadi sebelum aku dipindah tugaskan ke Pajang. Dua pekan sebelum keberangkatan pasukan Mataram ke Panaraga, aku diperbantukan ke Mataram dan bergabung dengan pasukan yang melawat ke Panaraga ini.” “O..,” desis Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk. Bertanya Ki Tumenggung kemudian, “Di manakah tempat tugasmu di Pajang?” “Di bagian Pelayan Dalam, Ki Tumenggung.” “O..,” kembali Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Tugasmu dalam pasukan ini sebagai senapati pengapit. Engkau tinggal menyesuaikan diri karena engkau akan selalu berada di sampingku.” “Siapakah yang akan memberi aba-aba untuk pergantian gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. “Lurah prajurit yang berada di depan dan belakang gelar yang akan menyampaikan setiap perintahku ke seluruh pasukan melalui prajurit penghubung.” Lurah prajurit pengapit itu mengangguk-anggukan kepalanya. Memang sudah sekian lama dia tidak ditugaskan di pasukan yang langsung berhubungan dengan medan perang. Namun pendidikan dasar yang pernah diperolehnya ketika dia mulai menapakkan kakinya di dunia keprajuritan tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Tak terasa perjalanan mereka telah mencapai ujung bulak yang pendek itu. Sekarang di hadapan mereka telah terhampar sebuah padang rumput yang luas, padang rumput lemah cengkar. Hampir setiap dada bergetar melihat padang rumput yang luas itu di dalam keremangan malam. Pohon beringin raksasa yang tumbuh di tengah-tengah padang itu terlihat bagaikan seorang raksasa yang sedang berdiri menunggu setiap mangsa yang akan lewat. “Bagaimana kalau cerita tentang siluman harimau putih itu benar-benar ada?” tiba-tiba seorang prajurit yang bertubuh kurus berbisik ke prajurit yang berkuda di sampingnya. “Siluman harimau putih itu memang ada,” sahut kawannya juga dengan berbisik. “Omong kosong!” seru prajurit kurus itu tanpa sadar sehingga beberapa orang telah berpaling ke arah mereka. “Engkau tidak usah berteriak,” desis kawannya, “Ada atau pun tidak ada itu bukan urusan kita. Dengar! Ki Lurah sudah memberi aba-aba untuk membuka gelar.” Dalam pada itu, Lurah prajurit yang berada di depan pasukan telah memberi isyarat untuk membuka gelar, sebuah gelar yang menurut perhitungan nalar memang sangat berbahaya jika diperuntukkan mengawal seseorang yang sangat penting. Namun bukan berarti gelar Glathik neba bukan sebuah pilihan yang tepat dalam sebuah pertempuran. Gelar Glathik neba akan digunakan dengan sadar oleh seorang Panglima perang jika kemampuan setiap prajurit orang-perorang di atas rata-rata. Demikianlah, sejenak kemudian ketika gelar itu telah terbentuk secara utuh, kembali terengar isyarat untuk segera memacu kuda-kuda itu dalam kecepatan tinggi melintasi padang rumput. Namun baru saja pasukan itu mulai memacu kuda-kuda mereka beberapa langkah, terdengar teriakan yang menggelegar memecah kesunyian malam di lemah cengkar. “Berhenti..!” teriakan yang disertai dengan tenaga cadangan yang mumpuni itu ternyata telah menggoncang setiap dada. Kuda-kuda yang sudah mulai melaju itu pun kemudian dikekang dengan tiba-tiba. Beberapa ekor kuda tampak mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras-keras. Untunglah para prajurit itu sudah terlatih menggendalikan kuda, sehingga dengan segera mereka mampu menguasai kuda-kuda itu tanpa kesulitan yang berarti. Ki Tumenggung yang belum sempat memacu kudanya kencang-kencang itu untuk sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Walaupun malam cukup gelap, namun pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan segera tahu siapakah yang telah berteriak untuk menghentikan laju kuda-kuda itu. “Maaf Pangeran,” desis Ki Tumenggung kemudian sambil merapatkan kudanya di sisi kuda Pangeran Jayaraga, “Apakah ada suatu kepentingan yang mendesak sehingga Pangeran telah menghentikan laju kuda-kuda kami?” Pangeran Jayaraga tidak segera menjawab. Diedarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut padang rumput Lemah Cengkar yang tampak sunyi namun mendebarkan. Jawabnya sejenak kemudian, “Engkau terlalu ceroboh dengan memerintahkan pasukanmu berpacu dengan kecepatan tinggi untuk melintasi padang rumput ini. Apakah engkau sudah yakin dengan siasatmu itu, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Betapapun hatinya sedikit kesal dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan Pangeran Jayaraga itu pun kemudian dijawabnya juga, “Kita adalah sepasukan berkuda yang terlatih. Dengan menggunakan gelar Glathik Neba dan berpacu dalam kecepatan tinggi, lawan yang hanya berdiri di atas kedua kaki mereka, tidak akan mampu menahan gerak pasukan ini.” Pangeran Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau melupakan sesuatu, Ki Tumenggung. Orang-orang itu akan menggunakan akal yang licik untuk menjebak pasukan ini. Mereka tidak akan merasa bersalah atau pun malu untuk menggunakan cara-cara licik dalam menghancurkan lawan,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka mungkin saja telah menaruh jebakan di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh hampir setinggi pinggang itu? Aku tadi sempat melihat gerakan yang mencurigakan di antara rumput-rumput ilalang jauh di depan sana. Agaknya mereka sedang menunggu kita dengan senjata terhunus. Begitu kuda-kuda kita terjatuh karena melanggar jebakan yang telah mereka buat, dengan mudahnya ujung-ujung pedang mereka akan menembus dada para prajurit Mataram yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.” Berdesir dada Ki Tumenggung Purbarana mendengar penjelasan Pangeran Mataram itu. Dengan cepat dia menghentak kudanya maju ke depan. Ketika kuda Ki Tumenggung kemudian maju beberapa tombak ke depan, jantung Ki Tumenggung pun bagaikan meledak. Pandangannya yang tajam segera melihat apa yang dimaksud oleh Pangeran Jayaraga. Di antara rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang, tampak tali-tali yang terjulur silang melintang yang diikatkan pada pathok-pathok kayu setinggi setengah lutut orang dewasa. “Gila! Licik! Pengecut!” geram Ki Tumenggung sambil membungkuk dan mengayunkan pedang dari atas punggung kudanya. Tali-tali yang melintang di hadapannya pun terbabat putus. Ketika dia kemudian mencoba menghela kudanya dengan perlahan maju beberapa langkah lagi, tali-tali yang terikat silang melintang pada pathok-pathok kayu itu pun tampak semakin tak terhitung jumlahnya dan tersebar hampir di seluruh medan yang akan mereka lewati. “Maju..!” teriak Ki Tumenggung tiba-tiba sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan kemudian diputar dua kali di udara sebelum akhirnya senjata itu menunjuk lurus ke depan. Serentak pasukan berkuda itu pun bergerak maju dengan tertib dan teratur dalam gelar sapit urang. Dengan perlahan pasukan itu bergerak. Dengan tetap dari atas punggung kuda masing-masing, senjata para prajurit itu pun terayun-ayun menebas tali-tali yang silang menyilang di hadapan mereka. Dalam pada itu, di tengah-tengah padang rumput lemah cengkar, para pengikut Pangeran Ranapati tampak menunggu dengan gelisah. Mereka bersembunyi di antara lebatnya rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang. Sudah sekian lama mereka menunggu sambil berjongkok bahkan ada yang bertiarap. Kegelisahan mereka semakin memuncak ketika mereka melihat dalam keremangan malam pasukan berkuda Mataram itu mulai bergerak memasuki padang rumput. Namun alangkah kecewanya para pengikut Pangeran Ranapati itu. Begitu pasukan berkuda itu mulai berpacu memasuki padang rumput, terdengar teriakan menggelegar memekakkan telinga yang menyuruh pasukan berkuda itu untuk berhenti. “Gila!” geram salah satu pengikut Pangeran Ranapati yang berkumis tebal, “Mengapa mereka berhenti justru pada saat kuda-kuda itu baru saja dipacu? Apakah mereka melihat tali-tali yang telah kita pasang?” “Tentu tidak,” jawab kawan di sebelahnya, “Kita telah memasang pathok-pathok kayu itu agak ke tengah agar tidak mudah untuk dilihat. Namun agaknya salah seorang dari mereka mempunyai panggraita yang sangat tajam sehingga telah mencegah kuda-kuda itu memasuki padang.” Orang berkumis tebal itu hanya dapat mengumpat berkali-kali. Dalam perhitungannya, alangkah mudahnya menghancurkan pasukan berkuda Mataram itu. Begitu kuda-kuda itu berjatuhan dan melemparkan penunggangnya jatuh bergulingan di atas rumput, dengan mudahnya senjata mereka akan menghabisi para prajurit yang sedang tidak berdaya itu. Namun pada kenyataannya seseorang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput Lemah Cengkar. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang berdiri di bawah naungan rimbunnya pohon beringin tua dan terpisah agak jauh dari para pengikutnya, ternyata mempunyai perhitungan yang sama. “Tentu Adimas Pangeran Jayaraga yang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput,” geram Pangeran yang mengaku telah terbuang dari lingkungan istana semenjak kanak-kanak, “Seharusnya Adimas Jayaraga menyadari bahwa aku dan para pengikutku justru sedang berupaya untuk membebaskannya dari hukuman.” Namun ternyata Pangeran Jayaraga telah menyadari dosa-dosanya dan berupaya untuk meluruskan kembali jalan hidupnya dengan mengikuti paugeran yang berlaku. Baik paugeran dalam tata pemerintahan Mataram, maupun paugeran dalam kehidupan kesehariannya yang berhubungan dengan bebrayan agung. Untuk sejenak suasana sangat mencekam. Pasukan berkuda itu bergerak dengan derap perlahan namun pasti. Ketika pasukan itu sudah hampir mencapai tengah-tengah padang, agaknya Pangeran Ranapati sudah tidak dapat menunggu lagi. Sejenak kemudian terdengar suara burung kedasih yang ngelangut dan menggetarkan jantung tiga kali berturut-turut. Agaknya suara burung kedasih itu sebagai isyarat bagi para pengikutnya untuk bergerak. Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata juga mendengar suara burung kedasih itu. Sebagai seorang prajurit yang telah kenyang makan asam garamnya pertempuran, isyarat itu telah memberinya peringatan bahwa sebentar lagi lawan akan menyerang. Demikianlah akhirnya, para pengikut Pangeran Ranapati pun telah bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Bagaikan hantu-hantu yang bangkit dari kuburnya, mereka segera meloncat keluar dan berlari berhamburan sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Senjata-senjata mereka tampak teracu-acu mendebarkan dan berkilat-kilat tertimpa siraman sinar bulan tua. Jumlah mereka ternyata cukup banyak bahkan sepintas melebihi jumlah pasukan berkuda Mataram. “Maaf Ki Tumenggung,” berkata Lurah prajurit pengapit kepada Ki Tumenggung Purbarana yang tampak membeku di atas punggung kudanya, “Apakah kita akan bertempur dari atas punggung kuda?” “Ya,” jawab Ki Tumenggung dengan serta merta, “Namun kita jangan terpancing untuk maju ke depan lagi. Kita bertahan di sini saja. Masih banyak jebakan yang mereka pasang di depan. Kuda-kuda kita akan mengalami kesulitan.” “Baik Ki Tumenggung,” jawab Lurah pengapit itu sambil menggeser kudanya agak ke samping. Sementara Ki Tumenggung segera memberi isyarat kepada seorang Lurah prajurit yang berada beberapa langkah di depannya untuk memberi aba-aba. Sejenak kemudian terdengar aba-aba dari Lurah prajurit itu. Pasukan berkuda itu pun dengan cepat segera bergerak mundur beberapa langkah. Senjata-senjata pun mulai merunduk siap menyambut serangan lawan. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungan Ki Tumenggung Purbarana. Ketika para pengikut Pangeran Ranapati yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat dengan tempat pasukan berkuda Mataram bertahan, tiba-tiba beberapa orang yang berada di barisan paling depan justru telah berhenti dan mengambil sikap. Dengan cekatan dan terampil mereka segera mempersiapkan busur dan anak panah. Pada awalnya pasukan berkuda Mataram mengira bahwa lawan akan menyerang dengan mempergunakan senjata jarak jauh. Namun pandangan tajam Ki Tumenggung Purbarana segera mengenali jenis anak panah yang digunakan oleh lawan. Anak panah itu bukan seperti anak panah biasanya yang tajam ujungnya. Ujung anak panah itu tampak tumpul dan dibebat dengan secarik kain. Sebelum pasukan Mataram menyadari apa yang akan dilakukan oleh para pengikut Pangeran Ranapati itu, tampak beberapa orang yang membawa busur dan anak panah itu telah mencelupkan ujung-ujung anak panah itu pada bumbung-bumbung kecil yang berada di ikat pinggang mereka. Ternyata bumbung-bumbung itu berisi minyak jarak. Sejenak kemudian batu-batu titikan telah dinyalakan pada sejumput gelugut aren. Segera saja ujung-ujung panah itu pun dinyalakan dan api pun berkobar di setiap ujung anak panah. “Gila!” teriak Lurah prajurit yang berada di paling depan, “Mereka akan menakut-nakuti kuda-kuda kita dengan panah berapi!” Namun ternyata dugaan Lurah prajurit itu meleset. Panah-panah berapi itu justru telah terlontar ke atas melewati pasukan berkuda itu dan jatuh di atas rumput-rumput ilalang di belakang mereka. Yang terjadi kemudian adalah sangat mendebarkan. Rumput-rumput ilalang itu pun dengan mudah segera terbakar dan menjalar dengan cepat. Kobaran api yang semakin membesar dan meluas itu ternyata telah membuat kuda-kuda pasukan Mataram menjadi gelisah dan ketakutan. Sebenarnya lah para prajurit Mataram itu sudah terbiasa dalam berlatih mengendalikan kuda. Namun api yang berkobar-kobar dengan dahsyatnya itu telah membuat kuda-kuda menjadi sangat liar dan sulit dikendalikan. Di saat keadaan pasukan Mataram sedang dilanda kesulitan itu lah, Ki Tumenggung Purbarana segera mengambil sebuah keputusan yang berani. “Turun dari kuda-kuda kalian!” teriak Ki Tumenggung kemudian, “Kita akan bertempur di atas tanah. Sekalian lecut kuda-kuda kalian!” Perintah itu tidak perlu diulangi sekali lagi karena para prajurit sudah tanggap akan maksud pemimpin mereka. Dengan tangkas para prajurit segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Begitu kaki mereka menjejak tanah, dengan sebuah sentuhan yang cukup keras pada bagian belakangnya, kuda-kuda itu pun menjadi semakin liar dan meloncat berlari sekencang-kencangnya ke arah depan dan menerjang apa saja yang menghalanginya. Sekarang giliran para pengikut Pangeran Ranapati yang dibuat terkejut bukan alang kepalang. Mereka tidak mengira kuda-kuda itu justru telah berlari kencang ke arah mereka. Namun agaknya tali-tali jebakan yang mereka buat di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar setinggi pinggang telah membuat beberapa ekor kuda jatuh terjerembab sebelum sempat melanggar para pengikut pangeran Ranapati. Walaupun dengan cepat kuda-kuda yang terjerembap itu kemudian bangkit berdiri dan kembali berlari. Sejenak medan di padang rumput lemah cengkar itu pun menjadi semakin kisruh. Beberapa pengikut Pangeran Ranapati sebagian telah berloncatan menghindari terjangan kuda-kuda yang luput dari tali jebakan. Namun tidak urung ada juga satu dua orang yang tidak sempat mengindar dan terjatuh terkena terjangan kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dalam pada itu, api yang membakar rumput ilalang di belakang pasukan Mataram menjadi semakin membesar dan meluas. Ki Tumenggung yang melihat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh api itu segera memerintahkan prajurit yang berada di barisan paling belakang untuk memadamkan api. Dengan cepat beberapa prajurit segera berpencar dan mencari apa saja yang dapat dijadikan alat untuk memadamkan api. Namun padang rumput lemah cengkar itu sangat luas dan diperlukan waktu untuk mencapai pepeohonan dan semak belukar yang tumbur di pinggir padang. Sementara para prajurit tidak berani meninggalkan pasukannya terlalu jauh. Lawan setiap saat dapat menyerbu. Betapapun para prajurit itu telah berusaha dengan alat seadanya, tombak-tombak panjang, perisai-perisai maupun pedang untuk mencegah agar api tidak menjalar semakin luas, namun kebakaran yang sudah terlanjur membesar dan meluas itu ternyata sangat sulit untuk dipadamkan. Di saat para prajurit itu hampir putus asa, tiba-tiba terdengar lamat-lamat sebuah tembang dandanggula yang ngelangut memecah udara malam di sela-sela hiruk pikuk yang terjadi di padang rumput lemah cengkar. Ketika mereka yang berada di padang rumput lemah cengkar itu sedang terpesona oleh tembang dandanggula yang ngelangut itu, tiba-tiba saja udara di atas lemah cengkar dengan cepat berubah menjadi dingin, sedingin banyu sewindu bahkan lebih dingin lagi. Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di lemah cengkar itu pun harus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan jantung mereka agar tetap berdenyut sehingga darah tetap mengalir di sepanjang urat nadi. Hawa dingin yang mencengkam itu benar-benar telah membekukan aliran darah mereka. Namun ternyata kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Beberapa saat kemudian udara di atas lemah cengkar itu pun kembali seperti biasa. “Seorang yang sakti telah membantu memadamkan kebakaran itu,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghangatkan dadanya yang hampir saja membeku. Sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat api yang telah padam, Pangeran Jayaraga kembali berkata dalam hati, “Berdiri di pihak manakah orang sakti ini? Semoga saja dia hanya menjadi penonton yang baik.” Sementara Pangeran Ranapati yang masih berlindung di bawah bayangan pohon beringin raksasa di tengah-tengah lemah cengkar itu telah mengumpat beberapa kali. “Gila!” geram Pangeran yang lebih di kenal di padukuhan Cepaga dengan nama Teja Wulung, “Aku tahu ini pasti permainan Guru. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Guru?” Namun sebenarnyalah putra laki-laki satu-satunya Rara Ambarasari itu dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh gurunya. “Sejak muda Guru memang telah bergaul erat dengan alam,” kembali Pangeran Ranapati berangan-angan, “Sudah sewajarnya jika guru tidak rela pada setiap perbuatan yang dapat merusak keseimbangan alam.” Demikianlah akhirnya, padang rumput lemah cengkar itu telah kembali menjadi seperti sediakala. Kedua pasukan itu pun segera menyusun gelar masing-masing dan bersiap untuk saling berbenturan. ***** Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum para peronda memukul kentongan dengan nada dara muluk, Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang duduk terpekur di hadapan Kanjeng Sunan. Berdua mereka sedang berada di dalam sanggar selepas mendapat jamuan makan malam oleh Ki Gede Menoreh tadi sore. “Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku tahu Ki Rangga sebenarnya sudah tidak mempunyai masalah dengan kesehatan Ki Rangga. Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberikan anugrah berupa kekuatan wadag yang luar biasa kepada Ki Rangga.” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Namun hamba masih memerlukan banyak petunjuk dari Kanjeng Sunan untuk menyempurnakan bekal hamba dalam mengemban tugas sebagai prajurit dan sekaligus sebagai kawula Mataram dalam hubungannya dengan bebrayan agung.” Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Katanya kemudian, “Ki Rangga, sebenarnya apakah tujuanmu dengan menempa diri mempelajari semua ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah engkau belum merasa cukup dan puas dengan keadaanmu sekarang ini? Apakah engkau ingin menjadi orang yang tak terkalahkan di atas bumi ini? Atau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatimu telah terbesit sebuah keinginan untuk meraih mukti wibawa dengan berlandaskan ilmu yang telah engkau kuasai? Engkau ingin menjadi penguasa, Raja misalnya?” Tertegun Ki Rangga mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Kanjeng Sunan. Seolah olah kini dirinya dihadapkan pada sebuah belanga yang berisi air yang jernih dan tenang. Betapa seluruh noda-noda di wajahnya kini nampak sangat jelas. Apakah yang selama ini dicarinya dengan segala macam ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah dengan mempelajari segala macam ilmu itu dirinya dijamin akan selamat jika musuh-musuhnya ingin membalas dendam? bersambung ke bagian 3 Pages 1 2 3 > Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3 Category Archives Seri II Buku 101 Seri II Jilid 1 ♦ 15 Juli 2010 Sebuah padepokan kecil akan lahir di sebelah Kademangan Jati Anom. Di atas sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi dengan berbagai macam pohon buah-buahan, akan dibangun kelengkapan dari sebuah padepokan betapapun kecilnya. Sebuah rumah induk dengan pendapa dan bagian-bagian yang lain, sebuah tempat ibadah, kolam dan sebuah kandang kuda. Di bagian belakang akan terdapat beberapa buah … Baca lebih lanjut → Buku 102 Seri II Jilid 2 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang-orang yang membuat lingkaran di sekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang hampir di luar nalar. Ledakan cambuk Swandaru telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan kepingan-kepingan baja yang melingkar di antaranya ternyata telah berhasil menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga di … Baca lebih lanjut → Buku 103 Seri II Jilid 3 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang-orang yang berada di dalam sanggar itupun menjadi tegang. Mereka mulai membayangkan apa yang bakal terjadi. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga apabila keduanya tenggelam dalam arus perasaan yang tidak terkendali, maka akan terjadi perang tanding yang sangat dahsyat di dalam sanggar itu. Tetapi di dalam sanggar … Baca lebih lanjut → Buku 104 Seri II Jilid 4 admin ♦ 15 Juli 2010 “Jika gelora di dalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala di dalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,“ berkata Sumangkar di dalam hatiya. Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai … Baca lebih lanjut → Buku 105 Seri II Jilid 5 admin ♦ 15 Juli 2010 “Jika tidak? Ternyata keempat orang perwira itu belum kita kenal sama sekali.“ desis Agung Sedayu. “Tentu agak aneh.” “Apakah mungkin karena sesuatu hal Pajang mengirimkan langsung prajurit-prajurit ke daerah ini?,“ bertanya Agung Sedayu. “Menurut pertimbanganku, itu tidak mungkin. Mereka tinggal memerintahkan saja kepada Untara seandainya mereka mendapat suatu keterangan tentang kejahatan atau semacamnya di … Baca lebih lanjut → Buku 106 Seri II Jilid 6 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Argapati termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu bertanya, “Tetapi Ki Waskita akan pergi seorang diri tanpa kawan di perjalanan.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Jalan rasa-rasanya menjadi semakin aman.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu memang memerlukan seorang kawan untuk mempersiapkan pasukannya. Setelah pembicaraan itu tuntas, maka Ki … Baca lebih lanjut → Buku 107 Seri II Jilid 7 admin ♦ 15 Juli 2010 Perintah itupun segera menjalar kepada setiap pemimpin kelompok dan prajurit, meskipun mereka tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Namun perintah itupun disusul oleh perintah Swandaru kepada pasukannya, bahwa mereka tidak hanya sekedar menunggu di mulut lembah. Mereka akan mengikuti gerak pasukan Mataram. Jika benar-benar diperlukan, maka mereka akan langsung terlibat ke dalam pertempuran.“ Sementara itu, … Baca lebih lanjut → Buku 108 Seri II Jilid 8 admin ♦ 15 Juli 2010 Sesaat Ki Gede Telengan memusatkan segenap kemampuan ilmu dan kekuatannya pada sorot matanya. Dengan tangan yang tersilang, ia berdiri tegak. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah pisau-pisau yang menyambarnya lewat. Namun tiba tiba terasa seakan-akan urat-urat darahnya bagaikan tersumbat di dadanya. Seakan-akan batu sebesar bukit telah menindihnya. Bukan saja darahnya yang … Baca lebih lanjut → Buku 109 Seri II Jilid 9 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Gede Menoreh benar-benar berada dalam kesulitan. Seakan-akan ia hanya berkesempatan menahan dan menangkis serangan lawannya. Tetapi ia sendiri tidak sempat menyerang, karena dengan licik Ki Tumenggung Wanakerti selalu menjahuinya. Ki Gede Menoreh tidak mau memaksa diri untuk meloncat menyerang. Ia tidak mau menanggung akibat yang parah karena kakinya. Sehingga dengan demikian maka ia … Baca lebih lanjut → Buku 110 Seri II Jilid 10 admin ♦ 15 Juli 2010 Di bagian lain dari sayap itu, Ki Waskita telah berhasil mengatasi kusulitan yang paling gawat. Iapun telah berhasil menekan lawannya yang mulai lelah. Lawannya yang bertubuh dan berkekuatan raksasa itu, ternyata sulit untuk mengimbangi Ki Waskita. Bukan saja ketangkasan dan kecepatan bergerak, tetapi ternyata Ki Waskita memiliki kelebihan daya tahan seperti halnya Kiai Gringsing. … Baca lebih lanjut → Navigasi pos

api di bukit menoreh 415